Halaman

Sabtu, 24 Maret 2012

peradilan islam di Indonesia pada masa kesultanan


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Sebagai negara yang menamakan dirinya dengan sebutan negara hukum, pembahasan mengenai peradilan itu sangat penting karena proses penegakkan hukum berada dalam lingkup pengadilan. Sebenarnya peradilan ini telah dilakukan sebelum datangnya Islam. Ketika itu keputusan suatu perkara hukum dilakukan oleh masyarakat itu sendiri, bahkan kebenaran hanya berada ada pihak yang lebih kuat.
Semakin berkembangnya pemikiran masyarakat Nusantara pada saat itu, maka keinginan untuk bertindak main hakim sendiri semakin berkurang karena dipandang tidak sesuai dengan kepentingan masyarakat umum. Sehingga keteraturan tatacara pergaulan hidup mereka memberikan pemahaman bahwa harus ada seseorang yang berhak memberikan keputusan, apabila terjadi perselisihan atau bentrokan kepentingan diantara anggota masyarakat pada saat itu atau dengan menjatuhkan hukuman terhadap pelanggaran aturan. Maka, itulah awal terjadinya peradilan pada masyarakat dahulu yang dikenal dengan Peradilan Pradata dan Peradilan Padu.
Kemudian Islam datang dengan menyebarkan ajaran-ajarannya melalui perdagangan yang dilakukan oleh para dai. Ketika itu, pengenalan kasta dalam masyarakat Nusantara mulai berkurang karena Islam mengajarkan penyetaraan kalangan masyarakat. Sehingga dari penyebaran inilah Islam mudah diterima oleh Nusantara dan menyebar dengan pesat. Maka pengaruh ajaran Hindu pun semakin menyusut dengan meningkatnya ajaran Islam dalam berbagai aspek. Dan peradilan pun mengalami berbagai perubahan, baik dari segi bentuk maupun sistemnya.

B.     Pembatasan Masalah
Sejarah mengenai awal terbentuknya peradilan di Nusantara telah dibahas, maka untuk mempermudah dalam memahami kajian tentang peradilan di Indonesia pada masa kesultanan, akan dibatasi permasalahannya sebagai berikut:

1.      Apa bentuk peradilan pada masa kesultanan di Nusantara?
2.      Bagaimana sistem perdilan pada masa kesultanan di Nusantara?
3.      Bagaimana perkembangan peradilan pada masa kesultanan?



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Sejarah, Bentuk, dan Sistem Peradilan Agama Pada Masa Kesultanan Islam
Suatu perkiraan yang dapat dijadikan pegangan sementara bahwa Sejarah Peradilan Agama di Indonesia berkaitan erat dengan sejarah masuknya agama Islam di wilayah Nusantara. Dan sejarah peradilan pada masa kesultanan dimulai sejak masuknya agama Islam di nusantara. Perihal tentang kapan masuknya Islam ke Nusantara terdapat beberapa pendapat, diantaranya ada yang mengatakan bahwa Islam telah masuk ke Indonesia sejak abad pertama Hijriyah atau abad ketujuh Masehi, sedangkan pendapat lain mengatakan masuknya Islam ke Tanah Air pada abad ketujuh Hijriyah atau ke-13 Masehi.[1]
Adapun hasil seminar tentang Masuknya Islam ke Indonesia pada tahun 1963 menyimpulkan bahwa masuknya agama Islam ke Indonesia yang untuk pertama kali pada abad pertama Hijriyah atau bertepatan dengan abad ketujuh Masehi yang dibawa langsung dari Arab oleh saudagar-saudagar dari Mekkah dan Madinah yang sekaligus sebagai mubalig.
Dapat diperkirakan bahwa pada saat-saat itu masyarakat pemeluk agama Islam telah mengenal hukum Islam walaupun masih dalam tahap permulaan. Setelah melalui proses yang panjang, berdirilah kesultanan/Kerajaan Islam Samudera Pasai di pesisir timur Sumatera dan meluas ke pantai utara pulau Jawa. Menurut Bagir Manan, lembaga Peradilan Agama telah ada dan tumbuh bersamaan dengan berkembangnya kekuasaan Islam di Indonesia. Tumbuh dan berkembangnya Peradilan Agama itu adalah karena kebutuhan dan kesadaran hukum sesuai dengan keyakinan mereka.[2]
Pertumbuhan dan perkembangan peradilan agama pada masa kesultanan Islam bercorak majemuk. Kemajemukan itu amat bergantung kepada proses Islamisasi yang dilakukan oleh pejabat agama dan ulama bebas dari kalangan pesantren; dan bentuk integrasi antara hukum Islam dengan kaidah lokal yang hidup dan berkembang sebelumya. Kemajemukan peradilan itu terletak pada otonomi dan perkembangannya, yang berada dalam lingkungan kesultanan masing-masing. Selain itu, terlihat dalam susunan pengadilan dan hierarkinya, kekuasaan pengadilan dalam kaitannya dengan kekuasaan pemerintahan secara umum, dan sumber pengambilan hukum dalam penerimaan dan penyelesaian perkara yang diajukan kepadanya.[3]
Menurut Mr. R. Tresna, jauh sebelum Islam datang bahwa tata hukum di Indonesia dipengaruhi oleh peradaban Hindu. Akan tetapi, pengaruh itu tidak sampai menghalangi pertumbuhan hukum Indonesia asli, tetap menjadi dasar pegangan di dalam kehidupan rakyat Nusantara. Pengaruh ini terlihat dari adanya garis pemisahan di antara peradilan raja atau Peradilan Pradata dengan peradilan yang dilaksanakan pejabat-pejabat tertentu atau Peradilan Padu.[4]
Mengenai pemisahan di antara perkara Pradata dan perkara Padu ini tidak bersifat mutlak. Ada kalanya, bahwa suatu perkara yang biasanya termasuk perkara Padu, di dalam keadaan tertentu menjadi berubah sifatnya, yaitu dianggap seperti perkara Pradata, maka harus diadili oleh pengadilan raja.
Dengan masuknya agama Islam ke Indonesia, maka tata hukum di Indonesia mengalami perubahan. Hukum Islam tidak hanya menggantikan hukum Hindu, yang berwujud dalam hukum pradata, tetapi juga memasukkan pengaruhnya ke dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat pada umumnya. Meskipun hukum asli masih menunjukkan keberadaannya, tetapi hukum Islam telah menyebar di kalangan para penganutnya terutama hukum keluarga. Hal itulah yang mempengaruhi terhadap proses pembentukan dan pengembangan Peradilan Agama di Indonesia.[5]
Pada masa pemerintahan Sultan Agung di Mataram (1613-1645), Pengadilan Pradata menjadi Pengadilan Surambi, yang dilaksanakan di serambi mesjid. Pemimpin pengadilan, meskipun prinsipnya masih tetap di tangan sultan, telah beralih ke tangan penghulu yang didampingi beberapa orang ulama dari lingkungan pesantren sebagai anggota majelis. Keputusan Pengadilan Surambi berfungsi sebagai nasihat bagi Sultan dalam mengambil keputusan. Dan Sultan, tidak pernah mengambil keputusan yang bertentangan dengan nasihat Pengadilan Surambi. Pada masa kekuasaan Sultan Agung, beliau merubah sistem Peradilan yang ada dengan memasukkan unsur hukum dan ajaran di bawah pengaruh Islam. Sultan Agung mewujudkannya khusus dalam Pengadilan Pradata yakni dengan cara memasukkan orang-orang dari kalangan Islam ke dalam Peradilan Pradata. Setelah Mataram terpecah menjadi dua wilayah yakni Jogyakarta dan Surakarta, Kumpeni lebih turut campur dalam urusan Peradilan di kedua negara itu. Ketika Sultan Agung mengadakan perubahan di dalam tata-Pengadilan di Mataram maka dengan sendirinya perubahan itu dilakukan pula di tanah Priangan. Tata-usaha Pengadilan di Priangan diatur menurut tata-usaha Pengadilan di Mataram. Akan tetapi ini hanya mengenai perkara Padu saja, perkara-perkara yang termasuk perkara Pradata harus dikirimkan ke Mataram.
Ketika Amangkurat I menggantikan Sultan Agung pada tahun 1645, Pengadilan Pradata dihidupkan kembali untuk mengurangi pengaruh ulama dalam pengadilan; dan raja sendiri yang menjadi tampuk pimpinannya. Namun dalam perkembangan berikutnya Pengadilan Surambi masih menunjukkan keberadaannya sampai dengan masa penjajahan Belanda, meskipun dengan kewenangan yang terbatas. Pengadilan tersebut berwenang menyelesaikan perselisihan dan persengketaan yang berhubungan dengan hukum kekeluargaan, yaitu perkawinan dan kewarisan. Pada tahun 1677 adalah suatu tahun dimana kekuasaan Mataram mulai jatuh dari yang awalnya Mataram adalah sebuah negara yang berdaulat penuh atas semua kekuasaan Peradilan. Pada saat itu, Kumpeni mulai masuk dan memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap negara Mataram.
Meskipun Kesultanan Cirebon didirikan pada waktu yang hampir bersamaan dengan Kesultanan Banten, akan tetapi lapisan atas dari penduduk Cirebon, yang berasal dari Demak, masih kokoh terikat kepada norma-norma hukum dan adat kebiasaan Jawa-Kuno. Perbedaan itu tampak dalam tata peradilandi kedua kesultanan itu. Adapun pengadilan di Banten disusun menurut pengertian Islam. Sedangkan pada masa Sultan Hasanuddin memegang kekuasaan pengaruh Hukum Hindu sudah tidak lagi berbekas karena di Banten hanya ada satu pengadilan yang dipimpin oleh qadhi sebagai hakim tunggal. Namun di Cirebon, pengadilan dilaksanakan oleh tujuh orang menteri yang mewakili tiga sultan, yaitu Sultan Sepuh, Sultan Anom, dan Panembahan Cirebon. Segala acara yang menjadi sidang menteri itu diputuskan menurut undang-undang Jawa. Kitab hukum yang digunakan, yaitu Papakem Cirebon, yang merupakan kumpulan macam-macam hukum Jawa-Kuno, memuat kitab hukum Raja Niscaya, Undang-undang Mataram, Jaya Lengkara, Kontra Menawa, dan Adilullah. Namun demikian, satu hal yang tidak dapat dipungkiri, bahwa ke dalam Papakem Cirebon itu telah tampak adanya pengaruh hukum Islam. [6]
Di beberapa tempat, seperti di Kalimantan Selatan dan Timur, Sulawesi Selatan dan tempat-tempat lain, para hakim biasanya diangkat oleh penguasa setempat. Di daerah-daerah lain, seperti di Sulawesi Utara, Sumatera Utara dan Sumatera Selatan tidak ada kedudukan tersendiri bagi pengadilan Agama. Tetapi pejabat agama langsung melaksanakan tugas-tugas pengadilan.[7]
Menurut Cik Hasan Bisri, adanya berbagai ragam pengadilan itu, menunjukkan posisi yang sama, yaitu sebagai salah satu pelaksana kekuasaan raja atau sultan. Di samping itu, pada dasarnya batasan wewenang pengadilan agama meliputi bidang hukum keluarga, yaitu perkawinan dan kewarisan. Dengan wewenang demikian, proses pertumbuhan dan perkembangan pengadilan pada berbagai kesultan-an memiliki keunikan masing-masing. Pengintegrasian, atau hidup berdampingan antara adat dan syara’, merupakan penyelesaian konflik yang terjadi secara laten bahkan manifest, sebagaimana terjadi di Aceh, Minangkabau, dan di beberapa tempat di Sulawesi Selatan. Kedudukan sultan sebagai penguasa tertinggi, dalam berbagai hal, berfungsi sebagai pendamai apabila terjadi perselisihan hukum.[8]

B.     Periode Perkembangan Pembentukan Peradilan
Peradilan Agama di Indonesia merupakan salah satu lembaga yang sangat tua, sehingga dalam sejarahnya yang panjang, peradilan mengalami berbagai pasang surut. Dan menurut Cik Hasan Bisri, pada mulanya ia diorganisasikan secara sederhana, kemudian menjadi salah satu pelaksana kekuasaan pemerintah dalam bentuk dan wewenang yang beraneka ragam. Ia mengalami perkembangan yang pesat dalam struktur, kekuasaan, dan prosedurnya. Posisinya pun semakin penting, terutama dalam menjalankan fungsinya untuk menegakkan hukum dan keadilan.
Pada masa kesultanan ini atau bisa juga dengan sebutan masa prapemerintahan Hindia Belanda,sebagaimana perkembangannya terdapat tiga priode pembentukan peradilan, yaitu:
1.      Tahkim kepada Muhakam
Ketika pemeluk agama Islam masih sedikit, wujud peradilan agama belum seperti sekarang ini, pada masa itu bila terjadi perselisihan atau sengketa, di antara anggota masyarakat, diselesaikan dengan cara bertahkim, yaitu lembaga penyelesaian sengketa antara orang-orang Islam yang dilakukan oleh para ahli agama. Dalam masa-masa permulaan Islam datang di Indonesia, ketika pemeluk agama Islam hidup di dalam masyarakat yang belum sepenuh-nya mengenal ajaran Islam, jika terjadi sengketa antara pemeluk agama Islam mereka menyerahkan penyelesaian sengketa itu kepada orang yang mempunyai ilmu pengetahuan keislaman yang dianggap mampu mennyelesai-kan sengketa. Yaitu kepada guru atau mubalig yang dianggap mampu dan berilmu agama. Orang yang bertindak sebagai hakim disebut muhakam. [9]

2.      Ahlul Hilli Wal ‘Aqdi
Ketika penganut agama Islam telah bertambah banyak dan terorganisir dalam kelompok masyarakat yang teratur, jabatan hakim atau qadhi dilakukan secara pemilihan dan bai’at oleh ahlul hilli wal’aqdi, yaitu pengangkatan atas seseorang yang dipercaya ahli oleh majelis atau kumpulan orang-orang terkemuka dalam masyarakat.[10]

3.      Tauliyah
Ketika kelompok masyarakat Islam telah berkembang menjadi kerajaan Islam, Pengangkatan jabatan hakim (Qadhi) dilakukan dengan pemberian “tauliyah”, yaitu pemberian atau pendelegasian kekuasaan dari penguasa. Pada masa itu terdapat bermacm-macam sebutan atau nama, antara lain sebagai berikut:
a.       Di Aceh dengan nama Mahkamah Syar’iyah Jeumpa;
b.      Di Sumatera Utara dengan nama Mahkamah Majelis Syara’;
c.       Di Sulawesi, Maluku, dan Irian Jaya yang merupakan bekas wilayah kerajaan Islam, lebih disukai istilah “Hakim Syara’ ”;
d.      Di Kalimantan khususnya Kalimantan Selatan, karena peran Syekh Arsyad Al Banjari, Kerapatan Qadhi Kerapatan dan Qadhi Besar;
e.       Di Sumbawa Hakim Syara’, di Sumatera Barat nama Mahkamah Tuan Qadhi atau Angku Kali;
f.       Di Bima (NTB) dengan nama Badan Hukum Syara’;
g.      Di Kerajaan Mataram dengan Pengadilan Surambi.[11]



BAB III
KESIMPULAN
Dari uraian pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa sebelum Islam masuk ke Nusantara, peradilan Agama telah ada dan berkembang hingga datangnya Islam. Dan sifat Islam yang meniadakan tingkat atau kasta, maka semakin mudah Islam masuk ke dalam kerajaan-kerajaan, Sehingga segala aspek yang beraturan ajaran Hindu, saat itu beralih menjadi ajaran Islam. Kemudian masyarakat mulai melaksanakan ajaran Islam sesuai fikih.
Oleh karena di kerajaan-kerajaan di Indonesia itu yang berdaulat adalah raja (yang berkuasa mutlak), maka kekuasaan mengadili pun ada pada tangan raja. Akan tetapi tidak dapat disangkal pula bahwa di Indonesia tidak semua perkara diadili oleh raja dan bahwa di tiap-tiap kesatuan hukum tiap-tiap kepala adat atau daerah menjadi hakim perdamaian.








[1] Hj. Sulaikin Lubis, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia;(Jakarta: Kencana,2006), hlm. 22.
[2] Nurlailatul Musyafa’ah, Aos Sutisna, Adun Abdullah Syafi’I, Jaenudin, Ujang Suyatman, Toto Supriyanto, Rojudin, Evi Sofiah, Fathi Ridwan, Saripudin, Syarif Hidayatullah, Diah Siti Sa’diah, Prahasti Suyaman, Peradilan Agama di Indonesia (Pustaka Bani Quraisy), 2004, hlm. 4.
[3][3] Drs. Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia; (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,2003), hlm. 113.
[4][4] Mr. R. Tresna, Peradilan di Indonesia dari Abad ke Abad; (Jakarta: Pradnya Paramita, 1978), hlm. 14.
[5] Nurlailatul Musyafa’ah, Aos Sutisna, Adun Abdullah Syafi’I, Jaenudin, Ujang Suyatman, Toto Supriyanto, Rojudin, Evi Sofiah, Fathi Ridwan, Saripudin, Syarif Hidayatullah, Diah Siti Sa’diah, Prahasti Suyaman, op.cit., hlm. 5.
[6] Drs. Cik Hasan Bisri, op.cit., hlm. 113-117.
[7] Nurlailatul Musyafa’ah, Aos Sutisna, Adun Abdullah Syafi’I, Jaenudin, Ujang Suyatman, Toto Supriyanto, Rojudin, Evi Sofiah, Fathi Ridwan, Saripudin, Syarif Hidayatullah, Diah Siti Sa’diah, Prahasti Suyaman, op.cit., hlm. 7.
[8] Drs. Cik Hasan Bisri, op.cit., hlm. 116
[9] Hj. Sulaikin Lubis, op.cit., hlm. 22.
[10] Ibid, hlm. 23.
[11] Ibid.

1 komentar:

  1. Hotel Las Vegas, NV Casinos - MapYRO
    Find Casinos Nearby in 광양 출장마사지 Las Vegas, NV. Use 오산 출장샵 this 포항 출장샵 simple form 이천 출장샵 to find 정읍 출장마사지 the best hotels, motels, and places to stay near the strip.

    BalasHapus