Halaman

Sabtu, 24 Maret 2012

muzaro'ah


MUZARO’AH
A.    PENGERTIAN
Secara bahasa, muzaraah berarti muamalah atas tanah dengan sebagian yang keluar sebagian darinya. Dan secara istilah muzara'ah berarti memberikan tanah kepada petani agar dia mendapatkan bagian dari hasil tanamannya. Misalnya sepertiga, seperdua atau lebih banyak atau lebiih sedikit dari itu.
Muzaro’ah adalah bagi hasil dalam transaksi pengolahan bumi dengan (upah) sebagian hasil yang keluar dari padanya dengan kesepakatan kedua belah pihak (pemilik tanah dan penggarap).
Muzara‟ah adalah akad kerjasama di bidang pertanian, dimana pemilik lahan memberi hak pengelolaan lahan kepada pihak lain (petani). Keuntungan yang diperoleh dari hasil lahan dibagi bersama sesuai kesepakatan.
B. Dasar Pensyari'atan
Muzara'ah adalah salah satu bentuk ta'awun(kerja sama) antar petani ( buruh tani) dan pemilik sawah. Serigkali kali ada orang yang ahli dalam masalah pertanian tetapi dia tidak punya lahan, dan sebaliknya banyak orang yang punya lahan tetapi tidak mampu menanaminya. Maka Islam mensyari'atkan muzara'ah sebagai jalan tengah bagi keduanya.
Itulah yang telah dicontohkan oleh Rasulullah dan mentradisi di tengah para sahabat dan kaum muslimin setelahnya. Ibnu 'abbas mencerikana bahwa Rasululah saw bekerja sama (muzaraah) dengan penduduk Khaibar untuk berbagi hasil atas panenan, makanan dan buah-buahan.
Bahkan Muhammad Albakir bin Ali bin Al-Husain mengatakan bahwa tidak ada seorang muhajirin yang berpindah ke Madinah kecuali mereka bersepakat untuk membagi hasil pertanian sepertiga atau seperempat.
Al-buhori dan muslim meriwayatkan yang artinya dari ibnu abbas bahwa rasululloh saw memperkerjakan  penduduk khaibar dengan upah sebagian dari bebijian dan bbuah-buahan yang dapat ditumbuhkan oleh tanah khaibar.
Muhammad al-baqir bin ali bin al husain r.a berkata: tak ada seorang muhajirin pun yang ada di madinah kecuali mereka menjadi petani dengan mendapatkan sepertiga, atau seperempat. Dan ali r.a said bin malik, abdulloh bin mas’ud, umar bin abdul ‘aziz, qosim, urwah, keluarga abu bakar, keluarga umar, keluarga ali dan ibnu sirin, semua terjun kedunia pertanian. (riwayat al-bukhori)

 C. Pendapat Yang Melarang
Dan telah datang satu masalah dalam hal ini, yaitu munculnya hadis tentang muzara'ah dari Rafi' bin Khudaij yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW telah melarang dilakukannya muzara'ah setelah sebelumnya ia memperbolehkannya, dengan dalil hadis yang menceritakan bahwa telah datang kepada Rasulullah dua orang yang berselisih tentang muzara'ah yang mereka lakukan hingga menjadikan mereka berusaha untuk saling membunuh, maka untuk permasalahan mereka ini Rasulullah berkata bahwa kalau demikaian halnya yang terjadi maka sebaiknya mereka tidak melakukannya(muzara'ah).
Zaid bin Tsabit meriwayatkan, bahwa ada dua orang yang sedang bertengkar tentang masalah tanah, kemudian mengadukannya kepada Nabi, maka jawab Nabi,"Kalau ini persoalanmu, maka janganlah kamu menyewakan tanah."(RiwayatAbu Daud)
Jadi masing-masing dari pemilik tanah dan penyewa, harus ada sikap toleransi (tasamuh) yang tinggi. Misalnya si pemilik tanah jangan minta terlalu tinggi dari hasil tanahnya itu. Begitu juga sebaliknya si penyewa jangan merugikan pihak pemilik tanah.
Dan pendapat yang mengatakan bahwa hukum muzara'ah ini termasuk akad yang terlarang telah dibantah oleh Zaid bin Tsabit dengan mengatakan bahwa ia lebih mengetahui tentang hadits Rasulullah dari pada Rafi' bin Khudaij. Lebih lanjutnya dia menjelaskan bahwa banyak sahabat Nabi yang melakukan muzara'ah. Dengan adanya bantahan dari Zaid ini, maka telah jelas bahwa tidak ter jadi nasakh dalam hokum diperbolehkannya muzara'ah.
Ibnu Abbas ra meriwayatkan bahwa larangan Rasulullah SAW tentang muzara'ah dalam hal ini bersifat kasuistik, dimana beliau memandang bahwa orang tersebut kurang tepat dalam melakukan akad muzara'ah, sehingga larangan itu bukan berarti melarang hukum muzara'ah secara hukum, melainkan arahan beliau kepada orang seseorang tertentu untuk menggunakan sistem lain yang lebih tepat.
من كانت له أرض فليزرعها أو بيمنحها أخاه فإن أب فليمسك أرضه
- رواه البخاري ومسلم
Siapa yang punya lahan, hendaklah ditanaminya atau diberikannya kepada saudaranya. Namun bila dia menolak, hendaklah dia mengambil tanahnya.(HR. Bukhari dan Muslim)
ما كنا نرى ف الزارعة بأسا حت سعت رافع بن خديج يقول : إن
رسول ال نى عنها، فذكرت لطاوس فقال : قال ل أعلمهم (يقصد
ابن عباس) إن رسول ال ل ينه عنها ولكن قال : لن ينح أحدكم
أرضه خي من أن يأخذ عايها خراجا معلوما - رواه المسة
Kami tidak memandang bahwa di dalam muzara'ah itu ada larangan, hingga aku mendengar Rafi' bin Khudaij berkata bahwa Rasulullah SAW melarangnya. Maka aku bertanya kepada Thawus dan beliau berkata,"Orang yang paling mengerti dalam masalah ini telah memberitahukan ku (maksudnya Ibnu Abbas ra),"Sesunguhnya Rasulullah SAW tidak melarang muzara'ah, beliau hanya berkata,"Memberikan tanah kepada seseorang lebih baik dari pada meminta pajak tertentu". (HR. Bukhari, Ahmad, Abu Daud, Nasai dan Ibnu Majah)

D. Bentuk Muzara'ah Yang Terlarang
Muzara'ah dibenarkan apabila disepakati pembagian hasil antara pemilik lahan dengan tenaga petani. Misalnya, petani mendapat 60 % dari nilai total hasil panen, sedangkan pemilik lahan mendapat 40% sisanya. Bentuk seperti ini dihalalkan dan telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW dan para shahabat hingga generasi berikutnya.
Adapun bentuk muzara'ah yang diharamkan adalah bila bentuk kesepakatannya tidak adil. Misalnya, dari luas 1000 m persegi yang disepakati, pemilik lahan menetapkan bahwa dia berhak atas tanaman yang tumbuh di area 400 m tertentu.
Sedangkan tenaga buruh tani berhak atas hasil yang akan didapat pada 600 m tertentu.
Perbedaannya dengan bentuk muzara'ah yang halal di atas adalah pada cara pembagian hasil. Bentuk yang boleh adalah semua hasil panen dikumpulkan terlebih dahulu, baru dibagi hasil sesuai prosentase. Sedangkan bentuk yang kedua dan terlarang itu, sejak awal lahan sudah dibagi dua bagian menjadi 400 m dan 600 m.
Buruh tani berkewajiban untuk menanami kedua lahan, tetapi haknya terbatas pada hasil di 600 m itu saja. Sedangkan apapun yang akan dihasilkan di lahan satunya lagi yang 400 m, menjadi hak pemilik lahan. Cara seperti ini adalah cara muzaraah yang diharamkan.
Inti larangannya ada pada masalah gharar. Sebab boleh jadi salah satu pihak akan dirugikan. Misalnya, bila panen dari lahan yang 400 m itu gagal, maka pemilik lahan akan dirugikan. Sebaliknya, bila panen di lahan yang 600 m itu gagal, maka buruh tani akan dirugikan. Maka yang benar adalah bahwa hasil panen keduanya harus disatukan terlebih dahulu, setelah itu baru dibagi hasil sesuai dengan perjanjian prosentase.
Bentuk muzara'ah yang terlarang ini adalah seseorang memberikan persyaratan kepada orang yang mengerjakan tanahnya; yaitu dengan ditentukan tanah dan sewanya dari hasil tanah baik berupa takaran ataupun timbangan. Sedang sisa daripada hasil itu untuk yang mengerjakannya atau masih dibagi dua lagi misalnya.
Rasulullah SAW menetapkan keadilan dalam masalah ini, yaitu kedua belah pihak bersekutu dalam hasil tanah itu, sedikit ataupun banyak. Tidak layak kalau di satu pihak mendapat bagian tertentu yang kadang-kadang suatu tanah tidak menghasilkan lebih dari yang ditentukan itu.
Dalam keadaan demikian, maka pemilik tanah berarti akan mengambil semua hasil, sedang di lain pihak menderita kerugian besar. Dan kadang-kadang pula, suatu tanah yang ditentukan itu tidak menghasilkan apa-apa, sehingga dengan demikian dia samasekali tidak mendapat apa-apa, sedang di lain pihak (penyewa) memonopoli hasil.
Oleh karena itu seharusnya masing-masing pihak mengambil bagiannya itu dari hasil tanah dengan suatu perbandingan yang disetujui bersama. Jika hasilnya itu banyak, maka kedua belah pihak akan ikut merasakannya, dan jika hasilnya sedikit, kedua-duanya pun akan mendapat sedikit pula. Dan kalau samasekali tidak menghasilkan apa-apa, maka kedua-duanya akan menderita kerugian. Cara ini lebih menyenangkan jiwa kedua belah pihak.
Diriwayatkan dari jalan Rafi' bin Khadij, ia berkata: "Kami kebanyakan pemilik tanah di Madinah melakukan muzara'ah, kami menyewakan tanah, satu bagian daripadanya ditentukan
untuk pemilik tanah ... maka kadang-kadang si pemilik tanah itu ditimpa suatu musibah sedang tanah yang lain selamat, dan kadang-kadang tanah yang lain itu ditimpa suatu musibah, sedang dia selamat, oleh karenanya kami dilarang. (HR Bukhari).
Di zaman Nabi orang-orang biasa menyewakan tanah  yang dekat sumber dan yang berhadapan dengan parit-parit dan beberapa macam tanaman, maka yang ini rusak dan yang itu selamat; yang ini selamat dan yang itu rusak, sedang orangorang tidak melakukan penyewaan tanah kecuali demikian, oleh karena itu kemudian dilarangnya." (HR Muslim)
Rasulullah s.a.w. bertanya kepada para sahabat,"Apa yang kamu perbuat terhadap tanam-tanamanmu itu?" Mereka menjawab: "Kami sewakan dia dengan 1/4 dan beberapa wasag dari korma dan gandum." Maka jawab Nabi, "Jangan kamu berbuat demikian." (Riwayat Bukhari)
Maksud hadis ini, yaitu mereka menetapkan ukuran tertentu yang mereka ambilnya dari hasil tanah itu, kemudian membagi sisanya bersama orang-orang yang menanaminya, untuk ini 1/4 dan untuk itu 3/4 misalnya.
Dari sini pula kita dapat mengetahui, bahwa Nabi sangat berkeinginan untuk mewujudkan keadilan secara merata dalam masyarakatnya, serta menjauhkan semua hal yangmenyebabkan pertentangan dan perkelahian di kalangan masyarakat Islam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar