Halaman

Sabtu, 24 Maret 2012

akaad dalam perikatan islam

Bentuk-Bentuk Perikatan Islam

Dilihat dari berbagai literatur, akad terdiri dari beraneka bentuk. Para ahli fiqih mengelompokkannya berbeda-beda sesuai dengan pemikiran mereka masing-masing. Untuk memberi kemudahan dalam memahami bentuk-bentuk akad, dalam resume ini penulis akan membagi bentuk akad berdasarkan kegiatan usaha yang sering dilakukan saat ini dalam tiga bentuk, yaitu:
1. Pertukaran.
A. Pertukaran yang sejenis
a) Pertukaran uang dengan uang (sharf)
Sharf adalah perjanjian jual beli satu valuta dengan valuta lainnya. Ulama fiqih mendefinisikan sharf adalah sebagai memperjualbelikan uang dengan uang yang sejenis maupun tidak sejenis.
Pada masa kini, bentuk jual beli ini banyak dilakukan oleh bank-bank devisa atau money changer.
b) Pertukaran barang dengan barang (barter)
Islam pada prinsipnya membolehkan terjadinya pertukaran barang dengan barang. Namun dalam pelaksanaannya bila tidak memperhatikan ketentuan syariat dapat menjadi barter yang mengandung unsur riba.
B. Pertukaran barang yang tidak sejenis
a) Pertukaran uang dengan barang, misalnya jual beli (al buyu’)
Jual beli dalam istilah fiqih disebut dengan al ba’i yang berarti tukar menukar barang dengan cara tertentu atau tukar menukar sesuatu dengan yang sepadan menurut cara yang dibenarkan.

Jual beli adalah pertukaran harta atas dasar saling rela atau memindahkan milik dengan ganti yang dapat dibenarkan (berupa alat tukar yang sah.)
Para Ulama membagi jual beli dari segi sah atau tidaknya menjadi tiga bentuk yaitu: jual beli shahih, jual beli batal, dan jual beli fasid.
Adapun jual beli dalam bentuk khusus dibagi menjadi dua yaitu, murabahah (jual beli diatas harga pokok) dan as salam (jual beli dengan pembayaran dimuka).
b) Pertukaran barang dengan uang, misalnya sewa (ijarah)
Ijarah menurut Ulama Hanafi adalah transaksi terhadap suatu manfaat dengan imbalan. Menurut Ulama Syafii adalah transaksi terhadap suatu manfaat yang dituju, tertentu, bersifat mubah, dan dapat dimanfaatkan dengan imbalan tertentu.
2. Kerjasama dalam Kegiatan Usaha (Syirkah).
a. Pengertian
Secara etimologi, asy-syirkah berarti percampuran, yaitu percampuran antara sesuatu dengan yang lainnya, sehingga sulit untuk dibedakan. Secara terminologi, pada dasarnya definisi yang dilakukan oleh para ulama fiqh hanya berbeda secara redaksional, sedangkan esensi yang terkandung didalamnya sama, yaitu ikatan kerja sama antara oranng-orang yang berserikat dalam hal modal dan keuntungan.
b. Dasar hukum
1) al-Quran
• QS. Shaad (38) : 24
• QS. an-Nisa (4) : 12
2) Hadits Rasulullah
kemitraan usaha dan pembagian hasil telah dipraktikkan selama masa Rasulullah. para sahabat telah terlatih dan mematuhinya dalam menjalankan metode ini. Rasulullah tidak melarang bahkan menyatakan persetujuannya dan ikut menjalankan metode ini.
Imam ad-Daruquthni meriwayatkan dari Abu Hurairah dari Nabi SAW yang bersabda : Allah SWT berfirman : “Aku adalah pihak ketiga (Yang Maha Melindungi) bagi dua orang yang melakukan syirkah, selama salah seorang diantara mereka tidak berkhianat kepada perseroannya. Apabila diantara mereka ada yang berkhianat, maka Aku akan keluar dari mereka (tidak melindungi).
HR. Abu Daud : “Umat islam bersekutu dalam tiga hal : air, padang rumput, dan api…”
c. Rukun dan Syarat
Syirkah mempunyai syarat umum, yakni :
1) Perserikatan itu merupakan transaksi yang boleh diwakilkan. artinya, salah satu pihak jika bertindak hukum terhadap objek perserikatan itu, dengan izin pihak lain, dianggap sebagai wakil seluruh pihak yang bersangkutan.
2) Persentase pembagian keuntungan untuk masing-masing pihak yang berserikat dijelaskan ketika berlangsungnya akad.
3) Keuntungan itu diambilkan dari hasil laba perserikatan, bukan dari hasil harta lain.
Ada beberapa hal yang menyebabkan berakhirnya akad syirkah. hal-hal yang menyebabkan berakhirnya akad perserikatan secara umum adalah sama dengan berakhirnya akad pada umumnya. jika dilihat dari bentuk perserikatan secara khusus, ada beberapa hal berakhirnya akad, yakni :
1) Pada syirkah Amwal, akad dinyatakan batal bila semua atau sebagian modal perserikatan hilang, karena objek perserikatan ini adalah harta.
2) Pada syirkah Mufawadhah, perserikatan dinyatakan batal bila modal masing-masing pihak tidak sama kuantitasnya, karena Mufawadhah berarti persamaan, baik dalam modal, kerja, maupun keuntungan yang dibagi.
d. Bentuk Syirkah
Syirkah secara umum terbagi menjadi tiga bentuk, yaitu :
1) Syirkah Ibahah, yakni persekutuan hak semua orang untuk dibolehkan menikmati manfaat sesuatu yang belum ada dibawah kekuasaan seseorang.
2) Syirkah Amlak, yakni persekutuan antara dua orang atau lebih untuk memiliki suatu benda.
a) Syirkah Milik Jabariyah, yang terjadi apabila keinginan para pihak yang bersangkutan, seperti persekutuan ahli waris
b) Syirkah Milik Ikhtiyariyah yang terjadi atas keinginan para pihak yang bersangkutan
3) Syirkah Akad, yaitu persekutuan antara dua orang atau lebih yang timbul dengan adanya perjanjian.
a) Syirkah Amwal, yaitu persekutuan antara dua orang atau lebih dalam modal/harta.
1. Syirkah al-Inan, adalah persekutuan antara dua orang atau lebih untuk memasukkan bagian tertentu dari modal yang akan diperdagangkan dengan ketentuan keuntungan dibagi antara para anggota sesuai dengan kesepakatan bersama, sedangkan modal masing-masing tidak harus sama.
2. Syirkah al-Mufawadhah adalah persekutuan antara dua orang atau lebih dalam modal dan keuntungannya dengan syarat besar modal masing-masing yang disertakan harus sama, hak melakukan tindakan hukum terhadap harta syirkah harus sama, dan setiap anggotanya adalah penanggung dan wakil dari anggota lainnya.
b) Syirkah Ámal/Ábdan adalah perjanjian persekutuan antara dua orang atau lebih untuk menerima pekerjaan dari pihak ketiga yang akan dikerjakan bersama dengan ketentuan upah dibagi diantara para anggotanya sesuai dengan kesepakatan mereka.
c) Syirkah Wujuh adalah persekutuan antara dua orang atau lebih dengan modal harta dari pihak luar untuk mengelola modal bersama tersebut dengan membagi keuntungan sesuai dengan kesepakatan.
d) Syirkah Mudharabah (Qiradh) yaitu berupa kemitraan terbatas yakni perseroan antara tenaga dan harta. Seseorang (pihak pertama/pemilik modal/mudharib) memberikan hartanya kepada pihak lain (pihak kedua/pemakai/pengelola/dharib) yang digunakan untuk berbisnis, dengan keuntungan bahwa keuntungan yang diperoleh akan dibagi oleh masing-masing pihak sesuai dengan kesepakatan. bila terjadi kerugian, maka dibebankan kepada harta, dan tidak dibebankan sedikitpun kepada pengelola yang bekerja.
3. Pemberi Kepercayaan dalam Kegiatan Usaha
a. Wadi’ah (Titipan)
Secara terminologi, ada dua definisi yang dikemukakan pakar fiqh. Yang pertama menurut ulama Hanafi, wadi’ah adalah mengikutsertakan orang lain dalam memelihara harta, baik dengan ungkapan yang jelas, melalui tindakan, maupun melalui isyarat. Kedua, menurut ulama Maliki, Syafi’ie, dan Hambali wadi’ah adalah mewakilkan orang lain untuk memelihara harta tertentu dengan cara tertentu. Dari definisi diatas secara esensi wadi’ah adalah menitipkan sesuatu harta atau barang pada orang yang dapat dipercaya untuk menjaganya.
1) Dasar Hukum
a) al-Quran
• QS. an-Nisa (4) : 58
• QS. al-Baqarah (2) : 283
b) Hadits Rasul
Serahkanlah amanat orang yang memercayai engkau, dan jangan kamu menghianati orang yang telah menghianati engkau. (HR. Abu Daud, at-Tirmizi, dan al-Hakim)
c) Ijtihad
Berdasarkan ayat dan hadits diatas, para ulama fiqh sepakat mengatakan, bahwa akad wadi’ah boleh dan disunnahkan, dalam rangka saling menolong antara sesama manusia. oleh sebab itu, Ibnu Qudamah, pakar fiqh Hambali menyatakan bahwa sejak zaman Nabi SAW hingga generasi-generasi berikutnya, akad wadi’ah telah menjadi ijma’ amali (konsensus dalam praktik) bagi umat dan tidak ada ulama yang mengingkarinya.
2) Ketentuan Wadi’ah
Dilihat dari segi sifat akad wadi’ah, para ulama fiqh sepakat menyatakan akadnya bersifat mengikat bagi kedua belah pihak. bila seseorang dititipi barang oleh orang lain dan akadnya ini memenuhi rukun dan syarat wadi’ah, maka pihak yang dititipi bertanggung jawab untuk memelihara barang titipan tersebut. para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa status wadi’ah ditangan orang yang dititipi bersifat amanah, bukan adh-dhaman, sehingga seluruh kerusakan yang terjadi selama penitipan barang tidak menjadi tanggung jawab orang yang dititipi kecuali kerusakannya disengaja atau atas kelalaian orang yang dititipi. alasan mereka adalah sabda Rasulullah SAW yang mengatakan : “Orang yang dititipu barang apabila tidak melakukan penghianatan, tidak dikenakan ganti rugi” (HR al-Baihaqi ad-Daruquthni). Dalam riwayat lain dikatakan : “Orang yang dipercaya memegang amanah tidak boleh dituntut ganti rugi” (HR ad-Daruquthni dari Amr Ibnu Syu’aib).
Berdasarkan hadits diatas, para ulama fiqh bersepakat apabila dalam akad wadi’ah disyaratkan bahwa orang yang dititipi dikenai ganti rugi atas kerusakan barang selama dalam penitipan, sekalipun kerusakan barang tersebut bukan atas kesengajaan atau kelalaiannya, maka akadnya batal. akibat lain dari sifat amanah yang melekat pada akad wadi’ah adalah pihak yang dititipkan barang tidak boleh meminta upah dari barang titipan tersebut.
b. Rahn (Barang Jaminan)
Secara etimologi, rahn berarti tetap, kekal, dan jaminan. Akad rahn dalam istilah hukum positif disebut barang jaminan atau agunan. ada beberapa definisi rahn yang dikemukakan oleh ulama fiqh.
Ulama Maliki mendifinisikannya dengan harta yang dijadikan oleh pemiliknya sebagai jaminan utang yang bersifat mengikat. Ulama Hanafi mendefinisikannya dengan menjadikan sesuatu (barang) sebagai hak pembayar (piutang) itu, baik seluruhnya maupun sebagian. Sedangkan Uama Syafi’ie dan Ulama Hambali mendefinisikannya dengan menjadikan materi (barang) sebagai jaminan utang, yang dapat dijadikan pembayar utang apabila orang yang berutang tidak dapat membayar utangnya tersebut.
Definisi ini mengandung pengertian bahwa barang yang boleh dijadikan jaminan utang itu hanya bersifat materi, tidak termasuk manfaat sebagaimana yang dikemukakan Ulama Maliki. Barang jaminan itu boleh dijual apabila dalam waktu yang disepakati oleh kedua belah pihak, utang tidak dilunasi. oleh sebab itu, hak pemberi piutang hanya terkait dengan barang jaminan, apabila orang yang berutang tidak mampu melunasi utangnya.
Adapun yang dapat dijadikan sebagai barang jaminan bukan saja yang bersifat materi, tetapi juga yang bersifat manfaat tertentu. benda yang dijadikan barang jaminan tidak harus diserahkan secara aktual, tetapi boleh juga penyerahannya secara hukum, seperti menjadikan sawah sebagai jaminan, sehingga yang diserahkannya adalah surat jaminannya (sertifikat sawah).
1) Dasar Hukum
a) al-Quran
• al-Baqarah (2) : 283
b) Hadits
Dari ‘Aisyah r.a menjelaskan bahwa : Rasulullah SAW pernah membeli makanan dari orang Yahudi dan Beliau menggadaikan kepadanya baju besi Beliau (HR. Bukhari)
c) Ijtihad
Para ulama sepakat bahwa rahn boleh dilakukan dalam perjalanan atau tidak, asalkan barang jaminan itu bisa langsung dikuasai secara hukum oleh pemberi piutang. misalnya apabila barang jaminan tersebut berbentuk tanah, maka yang dikuasai adalah surat jaminan tanah. Rahn dibolehkan karena banyak kemaslahatan yang terkandung didalamnya dalam rangka hubungan antar sesama manusia.
2) Rukun dan Syarat
a) Syarat al-Marhun Bihi (utang)
• Merupakan hak wajib dikembalikan kepada orang yang berutang
• Boleh dilunasi dengan jaminan itu
• Jelas dan tertentu.
b) Syarat al-Marhun (barang yang dijadikan jaminan)
• Boleh dijual dan nilainya seimbang dengan utang
• Bernilai dan dapat dimanfaatkan
• Jelas dan tertentu
• Milik sah orang yang berutang
• Tidak terkait dengan hak orang lain
• Berupa harta yang utuh, tidak bertebaran dalam beberapa tempat
• Boleh diserahkan, baik materinya maupun manfaatnya.
Disamping syarat-syarat diatas, para ulama fiqh dengan sepakat menyatakan bahwa rahn itu baru dianggap sempurna apabila barang yang dirahnkan itu secara hukum sudah berada ditangan pemberi utang, dan uang yang dibutuhkan telah diterima peminjam uang. Apabila barang jaminan itu berupa benda tidak bergerak seperti rumah dan tanah, cukup surat jaminan tanah atau surat-surat rumah itu yang dipegang pemberi utang. Syarat yang terakhir yang merupakan kesempurnaan rahn ini oleh para ulama disebut sebagai barang jaminan yang dikuasai secara hukum. Syarat ini menjadi penting karena Allah dalam surat al-Baqarah (2): 283 menyatakan “fa rihan maqbudhah” (barang jaminan itu dikuasai secara hukum).
Apabila barang jaminan itu telah dikuasai oleh pemberi utang, maka akad rahn mengikat bagi kedua belah pihak. Oleh karena itu, utang terkait dengan barang jaminan, sehingga apabila utang tidak dapat dilunasi, barang jaminan dapat dijual dan utang dibayar. Apabila didalam penjualan barang jaminan itu ada kelebihan, maka wajib mengembalikan kepada pemiliknya.
Jumhur ulama fiqh selain ulama Hambali berpendapat bahwa pemegang barang jaminan tidak boleh memanfaatkan barang jaminan itu, karena barang itu bukan barang miliknya secara penuh. Hak pemegang barang jaminan hanya sebagai jaminan piutang, dan apabila orang yang berutang tidak mampu melunasi utangnya, ia boleh menjual atau menghargai barang itu utuk melunasi utangnya. Alasan jumhur ulama adalah sabda Rasulullah yang berbunyi : “barang jaminan tidak boleh disembunyikan dari pemiliknya, karena hasil (dari barang jaminan) dan risiko (yang timbul atas barang itu) menjadi tanggung jawabnya.” (HR. Al-Hakim, al-Baihaqi, dan Ibnu Hibban dari Abu Hurairah)
Akan tetapi, apabila pemilik barang mengizinkan pemegang barang jaminan memanfaatkan barang jaminan itu selama berada ditangannya, maka sebagian ulama Hanafi membolehkannya, karena dengan adanya izin, tidak ada halangan bagi pemegang barang jaminan untuk memanfaatkan barang itu. Akan tetapi sebagian ulama Hanafi lainnya, ulama Maliki, ulama Syafi’ie berpendapat, sekalipun pemilik barang itu mengizinkannya, pemegang barang jaminan tidak boleh memanfaatkan barang jaminan itu, karena apabila barang jaminan itu dimanfaatkan, maka hasil pemanfaatan itu merupakan riba yang dilarang syari’at sekalipun diizinkan pemilik barang.
c. Wakalah (perwakilan)
Wakalah adalah pemberian kewenangan atau kekuasaan kepada pihak lain tentang apa yang harus dilakukannya dan ia (penerima kuasa) secara syar’i menjadi pengganti pemberi kuasa selama batas waktu yang ditentukan.
1) Dasar Hukum
a) Al-Quran
• QS. Al-Kahfi (18) : 19
• QS. At-Taubah (9) : 60
b) Hadits
Dalam kehidupan sehari-hari Nabi Muhammad SAW pernah mewakilkan kepada para sahabat untuk berbagai urusan. Diantaranya untuk membayarkan utangnya, menetapkan hukuman-hukuman dan melaksanakannya, dan lain-lain.
c) Ijtihad
Para ulama telah sepakat atas dibolehkannya wakalah karena kebutuhan umat terhadapnya. Wakalah termasuk jenis ta’awwun atau tolong menolong atas dasar kebaikan dan taqwa. (QS. Al-Maidah (5) : 2
2) Ketentuan
Wakalah boleh dilakukan dengan menerima bayaran atau tanpa bayaran. Nabi Muhammad memberikan komisi kepada para petugas penarik zakat. Dari Bisr Ibnu Said dari Ibnu as-Sa’idi berkata “Umar ra pernah mempekerjakan aku untuk menarik zakat (shadaqah). Setelah pekerjaanku selesai, Umar memberikanku upah, maka saya protes : “saya bekerja ini hanya untuk Allah”, Umar menjawab, “ambil saja apa yang diberikan kepadamu. Sungguh aku pernah dipekerjakan oleh Rasulullah SAW dan beliau memberiku upah”. Imam Abu Daud juga meriwayatkan tentang sahabat yang menerima upah, pemberian dari kepala kampung yang telah disembuhkannya dari sengatan binatang (kalajengking) melalui bacaan surat al-Fatihah. Jika diperhatikan, dua kasus diatas adalah termasuk amal tabarru’ (suka rela dan sosial) tetapi dalam kasus ini diperkenankan menerima upah seiring dengan perkembangan zaman, aktifitas yang terkait dengan jasa seperti mengajar, pengobatan, dan lain-lain dinilai sebuah pekerjaan yang dapat menghasilkan uang atau imbalan.
Secara umum, wakalah ada dua macam, yaitu :
a) Wakalah Muqayadah (khusus), yaitu pendelegasian terhadap pekerjaan tertentu. Dalam hal ini seorang wakil tidak boleh keluar dari wakalah yang ditentukan.
b) Wakalah Mutlaqah, yaitu pendelegasian secara mutlak, misalnya sebagai wakil dalam berbagai pekerjaan. Maka seorang wakil dapat melaksanakan wakalah secara luas.
Ada beberapa hal yang membuat wakalah itu berakhir masa berlakunya, yakni diantaranya adalah :
a) Muwakkil mencabut wakalahnya kepada wakil
b) Wakil mengundurkan diri dari akad wakalah
c) Muwakkil meninggal dunia
d) Waktu kesepakatannya sudah berakhir
e) Terlaksananya tujuan wakalah
f) Ketika sesuatu atau barang yang menjadi objek wakalah tidak menjadi milik muwakkil.
d. Kafalah (tanggungan)
Kafalah menurut mazhab Hanafi adalah memasukkan tanggung jawab seseorang kedalam tanggung jawab orang lain dalam suatu tuntutan umum. Dengan kata lain menjadikan seseorang ikut bertanggung jawab atas tanggung jawab orang lain yang berkaitan dengan masalah nyawa, utang, atau barang. Meskipun demikian, penjamin yang ikut bertanggung jawab tersebut tidak dianggap berutang, dan utang pihak yang dijamin tidak gugur dengan jaminan pihak penjamin. Sedangkan menurut mazhab Maliki, Syafi’ie dan Hambali, kafalah adalah menjadikan seseorang penjamin ikut bertanggung jawab atas tanggung jawab seseorang dalam pelunasan atau pembayaran utang, dan dengan demikian kedua-duanya dipandang berutang. Ulama sepakat dengan bolehnya kafalah, karena sangat dibutuhkan dalam muamalah dan agar yang berutang tidak dirugikan karena ketidak mampuan yang berutang.
1) Dasar Hukum
a) Al-Quran
• QS. Yusuf (12) : 66
• QS. Yusuf (12) : 72
b) Hadits
HR. Abu Daud: Pinjaman hendaklah dikembalikan dan yang menjamin hendaklah membayar.
HR. Abu Daud, at-Tarmizi dishahihkan Ibnu Hibban … bahwa penjamin adalah orang yang berkewajiban membayar.
c) Ijtihad
Ulama sepakat dengan bolehnya kafalah, karena sangat dibutuhkan dalam muamalah dan agar yang berutang tidak dirugikan karena ketidakmampuan yang berutang.
2) Ketentuan
Secara umum, kafalah dibagi menjadi dua bagian, yakni :
a) Kafalah dengan jiwa
Kafalah dengan jiwa dikenal dengan kafalah bi al-wajhi, yaitu adanya kesediaan pihak penjamin (al-kafil, al-dhmin, atau al-za’im) untuk menghadirkan orang yang ia tanggung kepada yang ia janjikan tanggungan (makful lah)
Penjamin yang menyangkut masalah manusia boleh hukumnya. Orang yang ditanggung tidak mesti mengetahui permasalahan, karena menyangkut badan bukan harta. Penangungan tentang hak Allah, seperti had al-khamr dan had menuduh zina adalah tidak sah, sebab Nabi Muhammad SAW telah bersabda : “tidak ada kafalah dalam had” (Riwayat al-Baihaqi).
b) Kafalah dengan harta
Kafalah harta merupakan kewajiban yang mesti ditunaikan oleh dhamin atau kafil dengan pembayararan atau (pemenuhan) berupa harta.
e. Hiwalah (Pengalihan Hutang)
1) Pengertian
Hiwalah adalah akad pemindahan utang piutang satu pihak kepada pihak lain. Dalam hal ini ada tiga pihak yang terlibat, muhil atau madin, pihak yang memberi utang (muhal atau dain), dan pihak yang menerima pemindahan (muhal alaih). Dipasar keuangan profesional praktik hiwalah dapat dilihat pada transaksi anjak piutang (factoring). Namun kebanyakan ulama’ tidak memperbolehkan mengambil manfaat atas pemindahan utang atau piutang tersebut.
2) Dasar Hukum
Hiwalah dibenarkan oleh Nabi Muhammad SAW dalam hadist yang diriwayatkan oleh mayoritas jumhur ulama dengan lafal yang berbeda. “Memperlambat pembayaran utang yang dilakukan orang kaya merupakan perbuatan dzalim. Jika salah seorang kamu dialihkan kepada orang yang mudah membayar utang, maka hendaklah ia beralih.” Disamping itu terdapat kesepakatan ulama yang menyatakan, bahwa tindakan hiwalah boleh dilakukan.
3) Ketentuan
Syarat yang diperlukan terhadap utang yang dialihkan (al muhal bih) yaitu sebagai berikut,
a) Sesuatu yang sudah dalam bentuk utang piutang yang pasti. Jika yang dialihkan belum merupakan utang piutang yang pasti, misalnya, mengalihkan utang yang timbul akibat jual beli yang masih berada dalam masa khiyar maka hiwalah tidak sah.
b) Apabila pengalihan utang dalam bentuk hiwalah mukayyadah semua ulama fiqih sepakat, bahwa baik utang pihak pertama kepada pihak kedua maupun utang pihak ketiga kepada pihak pertama, meskilah sama jumlah dan kualitasnya. Jika terdapat perbedaan jumlah atau kualitas, maka hiwalah tidak sah. Namun, jika pengalihan itu dalam bentuk hiwalah muthlaqah, maka kedua utang itu tidak mesti sama.
c) Ulama dari mazhab Syafi’i menambahkan, bahwa kedua utang itu mesti sama waktu jatuh tempo pembayarannya. Jika terdapat perbedaan, maka hiwalah tidak sah.
f. Al-Ariyah (Pinjam-Meminjam)
1) Pengertian
Menurut terminologi fiqih, ada dua definisi dari al ariyah. Pertama, Ulama Maliki dan Hanafi mendefinisikannya dengan pemilikan manfaat sesuatu tanpa ganti rugi. Kedua, Ulama Syafi’i dan Hambali mendefinisikannya dengan kebolehan memanfaatkan barang orang lain tanpa ganti rugi. Kedua definisi ini membawa dampak hukum yang berbeda. Definisi pertama membolehkan peminjam meminjamkan kembali barang yang ia pinjam kepada pihak ketiga. Sedangkan definisi kedua tidak membolehkan.
2) Dasar Hukum
a) Al Qur’an
• QS. Al Maidah (5): 2
b) Hadist
HR. Bukhari Muslim: Dari Safwan ibnu Umayyah: Rasulullah SAW meminjam kuda Abi Talhah dan mengendarainya.
HR. Abu daud dan at Tirmidzi: Ariah (barang pinjaman) adalah barang yang wajib dikembalikan.
3) Ketentuan
Para Ulama fiqih berbeda pendapat dalam menetapkan hukum asal akad. Apakah bersifat pemilikan terhadap manfaat atau hanya sekedar kebolehan memanfaatkannya. Ulama Hanafi dan Maliki mengatakan, bahwa ariyah merupakan akad yang menyebabkan peminjam memiliki akad yang ia pinjam. Peminjaman itu dilakukan secara sukarela, tanpa imbalan dari pihak peminjam. Oleh sebab itu, peminjam berhak meminjamkan barang itu kepada orang lain untuk dimanfaatkan, karena manfaat barang itu telah menjadi miliknya, kecuali pemilik barang membatasi pemanfaatannya untuk peminjam saja.
Sedangkan Ulama Syafi’i, Hambali, dan Abu Hasan Al Kharki, pakar fiqih Hanafi, berpendapat bahwa ariyah hanya bersifat kebolehan memanfaatkan benda, sehingga pemanfaatannya hanya terbatas bagi pihak peminjam. Namun seluruh Ulama fiqih sepakat, bahwa pihak peminjam tidak boleh menyewakannya kepada pihak lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar