Sabtu, 24 Maret 2012
peradilan islam di Indonesia pada masa kesultanan
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Sebagai negara
yang menamakan dirinya dengan sebutan negara hukum, pembahasan mengenai
peradilan itu sangat penting karena proses penegakkan hukum berada dalam
lingkup pengadilan. Sebenarnya peradilan ini telah dilakukan sebelum datangnya
Islam. Ketika itu keputusan suatu perkara hukum dilakukan oleh masyarakat itu
sendiri, bahkan kebenaran hanya berada ada pihak yang lebih kuat.
Semakin
berkembangnya pemikiran masyarakat Nusantara pada saat itu, maka keinginan
untuk bertindak main hakim sendiri semakin berkurang karena dipandang tidak
sesuai dengan kepentingan masyarakat umum. Sehingga keteraturan tatacara
pergaulan hidup mereka memberikan pemahaman bahwa harus ada seseorang yang
berhak memberikan keputusan, apabila terjadi perselisihan atau bentrokan kepentingan
diantara anggota masyarakat pada saat itu atau dengan menjatuhkan hukuman
terhadap pelanggaran aturan. Maka, itulah awal terjadinya peradilan pada
masyarakat dahulu yang dikenal dengan Peradilan
Pradata dan Peradilan Padu.
Kemudian Islam
datang dengan menyebarkan ajaran-ajarannya melalui perdagangan yang dilakukan
oleh para dai. Ketika itu, pengenalan kasta dalam masyarakat Nusantara mulai
berkurang karena Islam mengajarkan penyetaraan kalangan masyarakat. Sehingga
dari penyebaran inilah Islam mudah diterima oleh Nusantara dan menyebar dengan
pesat. Maka pengaruh ajaran Hindu pun semakin menyusut dengan meningkatnya
ajaran Islam dalam berbagai aspek. Dan peradilan pun mengalami berbagai
perubahan, baik dari segi bentuk maupun sistemnya.
B.
Pembatasan
Masalah
Sejarah mengenai
awal terbentuknya peradilan di Nusantara telah dibahas, maka untuk mempermudah
dalam memahami kajian tentang peradilan di Indonesia pada masa kesultanan, akan
dibatasi permasalahannya sebagai berikut:
1.
Apa bentuk
peradilan pada masa kesultanan di Nusantara?
2.
Bagaimana sistem
perdilan pada masa kesultanan di Nusantara?
3.
Bagaimana
perkembangan peradilan pada masa kesultanan?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah,
Bentuk, dan Sistem Peradilan Agama Pada Masa Kesultanan Islam
Suatu perkiraan yang dapat dijadikan pegangan
sementara bahwa Sejarah Peradilan Agama di Indonesia berkaitan erat dengan
sejarah masuknya agama Islam di wilayah Nusantara. Dan sejarah peradilan pada
masa kesultanan dimulai sejak masuknya agama Islam di nusantara. Perihal tentang
kapan masuknya Islam ke Nusantara terdapat beberapa pendapat, diantaranya ada
yang mengatakan bahwa Islam telah masuk ke Indonesia sejak abad pertama
Hijriyah atau abad ketujuh Masehi, sedangkan pendapat lain mengatakan masuknya
Islam ke Tanah Air pada abad ketujuh Hijriyah atau ke-13 Masehi.[1]
Adapun hasil seminar tentang Masuknya Islam ke
Indonesia pada tahun 1963 menyimpulkan bahwa masuknya agama Islam ke Indonesia
yang untuk pertama kali pada abad pertama Hijriyah atau bertepatan dengan abad
ketujuh Masehi yang dibawa langsung dari Arab oleh saudagar-saudagar dari
Mekkah dan Madinah yang sekaligus sebagai mubalig.
Dapat diperkirakan bahwa pada saat-saat itu
masyarakat pemeluk agama Islam telah mengenal hukum Islam walaupun masih dalam
tahap permulaan. Setelah melalui proses yang panjang, berdirilah
kesultanan/Kerajaan Islam Samudera Pasai di pesisir timur Sumatera dan meluas
ke pantai utara pulau Jawa. Menurut Bagir Manan, lembaga Peradilan Agama telah
ada dan tumbuh bersamaan dengan berkembangnya kekuasaan Islam di Indonesia.
Tumbuh dan berkembangnya Peradilan Agama itu adalah karena kebutuhan dan
kesadaran hukum sesuai dengan keyakinan mereka.[2]
Pertumbuhan dan perkembangan peradilan agama pada
masa kesultanan Islam bercorak majemuk. Kemajemukan itu amat bergantung kepada
proses Islamisasi yang dilakukan oleh pejabat agama dan ulama bebas dari
kalangan pesantren; dan bentuk integrasi antara hukum Islam dengan kaidah lokal
yang hidup dan berkembang sebelumya. Kemajemukan peradilan itu terletak pada otonomi
dan perkembangannya, yang berada dalam lingkungan kesultanan masing-masing.
Selain itu, terlihat dalam susunan pengadilan dan hierarkinya, kekuasaan
pengadilan dalam kaitannya dengan kekuasaan pemerintahan secara umum, dan
sumber pengambilan hukum dalam penerimaan dan penyelesaian perkara yang
diajukan kepadanya.[3]
Menurut Mr. R. Tresna, jauh sebelum Islam datang
bahwa tata hukum di Indonesia dipengaruhi oleh peradaban Hindu. Akan tetapi,
pengaruh itu tidak sampai menghalangi pertumbuhan hukum Indonesia asli, tetap
menjadi dasar pegangan di dalam kehidupan rakyat Nusantara. Pengaruh ini
terlihat dari adanya garis pemisahan di antara peradilan raja atau Peradilan Pradata dengan peradilan yang
dilaksanakan pejabat-pejabat tertentu atau Peradilan
Padu.[4]
Mengenai pemisahan di antara perkara Pradata dan perkara Padu ini tidak bersifat mutlak. Ada kalanya, bahwa suatu perkara
yang biasanya termasuk perkara Padu,
di dalam keadaan tertentu menjadi berubah sifatnya, yaitu dianggap seperti
perkara Pradata, maka harus diadili
oleh pengadilan raja.
Dengan masuknya agama Islam ke Indonesia, maka tata
hukum di Indonesia mengalami perubahan. Hukum Islam tidak hanya menggantikan
hukum Hindu, yang berwujud dalam hukum pradata,
tetapi juga memasukkan pengaruhnya ke dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat
pada umumnya. Meskipun hukum asli masih menunjukkan keberadaannya, tetapi hukum
Islam telah menyebar di kalangan para penganutnya terutama hukum keluarga. Hal
itulah yang mempengaruhi terhadap proses pembentukan dan pengembangan Peradilan
Agama di Indonesia.[5]
Pada masa pemerintahan Sultan Agung di Mataram
(1613-1645), Pengadilan Pradata menjadi
Pengadilan Surambi, yang dilaksanakan
di serambi mesjid. Pemimpin pengadilan,
meskipun prinsipnya masih tetap di tangan sultan, telah beralih ke tangan
penghulu yang didampingi beberapa orang ulama dari lingkungan pesantren sebagai
anggota majelis. Keputusan Pengadilan
Surambi berfungsi sebagai nasihat bagi Sultan dalam mengambil keputusan.
Dan Sultan, tidak pernah mengambil keputusan yang bertentangan dengan nasihat Pengadilan Surambi.
Pada masa kekuasaan Sultan Agung, beliau merubah
sistem Peradilan yang ada dengan memasukkan unsur hukum dan ajaran di bawah
pengaruh Islam. Sultan Agung mewujudkannya khusus dalam Pengadilan Pradata
yakni dengan cara memasukkan orang-orang dari kalangan Islam ke dalam Peradilan
Pradata. Setelah Mataram terpecah menjadi dua wilayah yakni Jogyakarta
dan Surakarta, Kumpeni lebih turut campur dalam urusan Peradilan di kedua
negara itu. Ketika Sultan Agung mengadakan perubahan di dalam tata-Pengadilan
di Mataram maka dengan sendirinya perubahan itu dilakukan pula di tanah
Priangan. Tata-usaha Pengadilan di Priangan diatur menurut tata-usaha
Pengadilan di Mataram. Akan tetapi ini hanya mengenai perkara Padu saja,
perkara-perkara yang termasuk perkara Pradata harus dikirimkan ke
Mataram.
Ketika Amangkurat I
menggantikan Sultan Agung pada tahun 1645, Pengadilan
Pradata dihidupkan kembali untuk mengurangi pengaruh ulama dalam
pengadilan; dan raja sendiri yang menjadi tampuk pimpinannya. Namun dalam
perkembangan berikutnya Pengadilan
Surambi masih menunjukkan keberadaannya sampai dengan masa penjajahan
Belanda, meskipun dengan kewenangan yang terbatas. Pengadilan tersebut
berwenang menyelesaikan perselisihan dan persengketaan yang berhubungan dengan
hukum kekeluargaan, yaitu perkawinan dan kewarisan. Pada tahun 1677 adalah suatu
tahun dimana kekuasaan Mataram mulai jatuh dari yang awalnya Mataram adalah
sebuah negara yang berdaulat penuh atas semua kekuasaan Peradilan. Pada saat itu, Kumpeni mulai masuk dan memberikan
pengaruh yang sangat besar terhadap negara Mataram.
Meskipun Kesultanan
Cirebon didirikan pada waktu yang hampir bersamaan dengan Kesultanan Banten,
akan tetapi lapisan atas dari penduduk Cirebon, yang berasal dari Demak, masih
kokoh terikat kepada norma-norma hukum dan adat kebiasaan Jawa-Kuno. Perbedaan
itu tampak dalam tata peradilandi kedua kesultanan itu. Adapun pengadilan di
Banten disusun menurut pengertian Islam. Sedangkan pada masa Sultan Hasanuddin
memegang kekuasaan pengaruh Hukum Hindu sudah tidak lagi berbekas karena di Banten
hanya ada satu pengadilan yang dipimpin oleh qadhi sebagai hakim tunggal. Namun di Cirebon, pengadilan
dilaksanakan oleh tujuh orang menteri yang mewakili tiga sultan, yaitu Sultan
Sepuh, Sultan Anom, dan Panembahan Cirebon. Segala acara yang menjadi sidang
menteri itu diputuskan menurut undang-undang Jawa. Kitab hukum yang digunakan,
yaitu Papakem Cirebon, yang merupakan
kumpulan macam-macam hukum Jawa-Kuno, memuat kitab hukum Raja Niscaya,
Undang-undang Mataram, Jaya Lengkara, Kontra Menawa, dan Adilullah. Namun
demikian, satu hal yang tidak dapat dipungkiri, bahwa ke dalam Papakem Cirebon itu telah tampak adanya
pengaruh hukum Islam.
[6]
Di beberapa tempat,
seperti di Kalimantan Selatan dan Timur, Sulawesi Selatan dan tempat-tempat
lain, para hakim biasanya diangkat oleh penguasa setempat. Di daerah-daerah
lain, seperti di Sulawesi Utara, Sumatera Utara dan Sumatera Selatan tidak ada
kedudukan tersendiri bagi pengadilan Agama. Tetapi pejabat agama langsung
melaksanakan tugas-tugas pengadilan.[7]
Menurut Cik Hasan
Bisri, adanya berbagai ragam pengadilan itu, menunjukkan posisi yang sama,
yaitu sebagai salah satu pelaksana kekuasaan raja atau sultan. Di
samping itu, pada dasarnya batasan wewenang pengadilan agama meliputi bidang
hukum keluarga, yaitu perkawinan dan kewarisan. Dengan wewenang demikian,
proses pertumbuhan dan perkembangan pengadilan pada berbagai kesultan-an
memiliki keunikan masing-masing. Pengintegrasian, atau hidup berdampingan
antara adat dan syara’, merupakan penyelesaian konflik yang terjadi secara
laten bahkan manifest, sebagaimana terjadi di Aceh, Minangkabau, dan di
beberapa tempat di Sulawesi Selatan. Kedudukan sultan sebagai penguasa
tertinggi, dalam berbagai hal, berfungsi sebagai pendamai apabila terjadi
perselisihan hukum.[8]
B.
Periode
Perkembangan Pembentukan Peradilan
Peradilan Agama
di Indonesia merupakan salah satu lembaga yang sangat tua, sehingga dalam
sejarahnya yang panjang, peradilan mengalami berbagai pasang surut. Dan menurut
Cik Hasan Bisri, pada mulanya ia diorganisasikan secara sederhana, kemudian
menjadi salah satu pelaksana kekuasaan pemerintah dalam bentuk dan wewenang
yang beraneka ragam. Ia mengalami perkembangan yang pesat dalam struktur,
kekuasaan, dan prosedurnya. Posisinya pun semakin penting, terutama dalam
menjalankan fungsinya untuk menegakkan hukum dan keadilan.
Pada masa
kesultanan ini atau bisa juga dengan sebutan masa prapemerintahan Hindia
Belanda,sebagaimana perkembangannya terdapat tiga priode pembentukan peradilan,
yaitu:
1.
Tahkim kepada
Muhakam
Ketika
pemeluk agama Islam masih sedikit, wujud peradilan agama belum seperti sekarang
ini, pada masa itu bila terjadi perselisihan atau sengketa, di antara anggota
masyarakat, diselesaikan dengan cara bertahkim,
yaitu lembaga penyelesaian sengketa antara orang-orang Islam yang dilakukan
oleh para ahli agama. Dalam masa-masa permulaan Islam datang di Indonesia,
ketika pemeluk agama Islam hidup di dalam masyarakat yang belum sepenuh-nya
mengenal ajaran Islam, jika terjadi sengketa antara pemeluk agama Islam mereka
menyerahkan penyelesaian sengketa itu kepada orang yang mempunyai ilmu
pengetahuan keislaman yang dianggap mampu mennyelesai-kan sengketa. Yaitu
kepada guru atau mubalig yang dianggap mampu dan berilmu agama. Orang yang
bertindak sebagai hakim disebut muhakam.
[9]
2.
Ahlul Hilli Wal
‘Aqdi
Ketika
penganut agama Islam telah bertambah banyak dan terorganisir dalam kelompok
masyarakat yang teratur, jabatan hakim atau qadhi
dilakukan secara pemilihan dan bai’at oleh ahlul
hilli wal’aqdi, yaitu pengangkatan atas seseorang yang dipercaya ahli oleh
majelis atau kumpulan orang-orang terkemuka dalam masyarakat.[10]
3.
Tauliyah
Ketika
kelompok masyarakat Islam telah berkembang menjadi kerajaan Islam, Pengangkatan
jabatan hakim (Qadhi) dilakukan
dengan pemberian “tauliyah”, yaitu pemberian atau pendelegasian kekuasaan dari
penguasa. Pada masa itu terdapat bermacm-macam sebutan atau nama, antara lain
sebagai berikut:
a. Di
Aceh dengan nama Mahkamah Syar’iyah
Jeumpa;
b. Di
Sumatera Utara dengan nama Mahkamah
Majelis Syara’;
c. Di
Sulawesi, Maluku, dan Irian Jaya yang merupakan bekas wilayah kerajaan Islam,
lebih disukai istilah “Hakim Syara’ ”;
d. Di
Kalimantan khususnya Kalimantan Selatan, karena peran Syekh Arsyad Al Banjari, Kerapatan Qadhi Kerapatan dan Qadhi Besar;
e. Di
Sumbawa Hakim Syara’, di Sumatera Barat nama Mahkamah Tuan Qadhi atau Angku
Kali;
f. Di
Bima (NTB) dengan nama Badan Hukum Syara’;
g. Di
Kerajaan Mataram dengan Pengadilan
Surambi.[11]
BAB III
KESIMPULAN
Dari uraian pembahasan
di atas dapat disimpulkan bahwa sebelum Islam masuk ke Nusantara, peradilan
Agama telah ada dan berkembang hingga datangnya Islam. Dan sifat Islam yang
meniadakan tingkat atau kasta, maka semakin mudah Islam masuk ke dalam
kerajaan-kerajaan, Sehingga segala aspek yang beraturan ajaran Hindu, saat itu
beralih menjadi ajaran Islam. Kemudian masyarakat mulai melaksanakan ajaran
Islam sesuai fikih.
Oleh karena di
kerajaan-kerajaan di Indonesia itu yang berdaulat adalah raja (yang berkuasa
mutlak), maka kekuasaan mengadili pun ada pada tangan raja. Akan tetapi tidak
dapat disangkal pula bahwa di Indonesia tidak semua perkara diadili oleh raja
dan bahwa di tiap-tiap kesatuan hukum tiap-tiap kepala adat atau daerah menjadi
hakim perdamaian.
[1] Hj. Sulaikin Lubis, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di
Indonesia;(Jakarta: Kencana,2006), hlm. 22.
[2] Nurlailatul Musyafa’ah, Aos
Sutisna, Adun Abdullah Syafi’I, Jaenudin, Ujang Suyatman, Toto Supriyanto,
Rojudin, Evi Sofiah, Fathi Ridwan, Saripudin, Syarif Hidayatullah, Diah Siti
Sa’diah, Prahasti Suyaman, Peradilan
Agama di Indonesia (Pustaka Bani Quraisy), 2004, hlm. 4.
[3][3] Drs. Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia; (Jakarta:
PT. RajaGrafindo Persada,2003), hlm. 113.
[4][4] Mr. R. Tresna, Peradilan di Indonesia dari Abad ke Abad;
(Jakarta: Pradnya Paramita, 1978), hlm. 14.
[5] Nurlailatul Musyafa’ah, Aos
Sutisna, Adun Abdullah Syafi’I, Jaenudin, Ujang Suyatman, Toto Supriyanto,
Rojudin, Evi Sofiah, Fathi Ridwan, Saripudin, Syarif Hidayatullah, Diah Siti
Sa’diah, Prahasti Suyaman, op.cit., hlm. 5.
[6] Drs. Cik Hasan Bisri, op.cit.,
hlm. 113-117.
[7] Nurlailatul Musyafa’ah, Aos
Sutisna, Adun Abdullah Syafi’I, Jaenudin, Ujang Suyatman, Toto Supriyanto,
Rojudin, Evi Sofiah, Fathi Ridwan, Saripudin, Syarif Hidayatullah, Diah Siti
Sa’diah, Prahasti Suyaman, op.cit., hlm. 7.
[8] Drs. Cik Hasan Bisri, op.cit.,
hlm. 116
[9] Hj. Sulaikin Lubis, op.cit.,
hlm. 22.
[10] Ibid, hlm. 23.
[11] Ibid.
akaad dalam perikatan islam
Bentuk-Bentuk Perikatan Islam
Posted on June 2, 2011 by ihsan badroni
Dilihat dari berbagai literatur, akad terdiri dari beraneka
bentuk. Para ahli fiqih mengelompokkannya berbeda-beda sesuai dengan
pemikiran mereka masing-masing. Untuk memberi kemudahan dalam memahami
bentuk-bentuk akad, dalam resume ini penulis akan membagi bentuk akad
berdasarkan kegiatan usaha yang sering dilakukan saat ini dalam tiga
bentuk, yaitu:1. Pertukaran.
A. Pertukaran yang sejenis
a) Pertukaran uang dengan uang (sharf)
Sharf adalah perjanjian jual beli satu valuta dengan valuta lainnya. Ulama fiqih mendefinisikan sharf adalah sebagai memperjualbelikan uang dengan uang yang sejenis maupun tidak sejenis.
Pada masa kini, bentuk jual beli ini banyak dilakukan oleh bank-bank devisa atau money changer.
b) Pertukaran barang dengan barang (barter)
Islam pada prinsipnya membolehkan terjadinya pertukaran barang dengan barang. Namun dalam pelaksanaannya bila tidak memperhatikan ketentuan syariat dapat menjadi barter yang mengandung unsur riba.
B. Pertukaran barang yang tidak sejenis
a) Pertukaran uang dengan barang, misalnya jual beli (al buyu’)
Jual beli dalam istilah fiqih disebut dengan al ba’i yang berarti tukar menukar barang dengan cara tertentu atau tukar menukar sesuatu dengan yang sepadan menurut cara yang dibenarkan.
Jual beli adalah pertukaran harta atas dasar saling rela atau memindahkan milik dengan ganti yang dapat dibenarkan (berupa alat tukar yang sah.)
Para Ulama membagi jual beli dari segi sah atau tidaknya menjadi tiga bentuk yaitu: jual beli shahih, jual beli batal, dan jual beli fasid.
Adapun jual beli dalam bentuk khusus dibagi menjadi dua yaitu, murabahah (jual beli diatas harga pokok) dan as salam (jual beli dengan pembayaran dimuka).
b) Pertukaran barang dengan uang, misalnya sewa (ijarah)
Ijarah menurut Ulama Hanafi adalah transaksi terhadap suatu manfaat dengan imbalan. Menurut Ulama Syafii adalah transaksi terhadap suatu manfaat yang dituju, tertentu, bersifat mubah, dan dapat dimanfaatkan dengan imbalan tertentu.
2. Kerjasama dalam Kegiatan Usaha (Syirkah).
a. Pengertian
Secara etimologi, asy-syirkah berarti percampuran, yaitu percampuran antara sesuatu dengan yang lainnya, sehingga sulit untuk dibedakan. Secara terminologi, pada dasarnya definisi yang dilakukan oleh para ulama fiqh hanya berbeda secara redaksional, sedangkan esensi yang terkandung didalamnya sama, yaitu ikatan kerja sama antara oranng-orang yang berserikat dalam hal modal dan keuntungan.
b. Dasar hukum
1) al-Quran
• QS. Shaad (38) : 24
• QS. an-Nisa (4) : 12
2) Hadits Rasulullah
kemitraan usaha dan pembagian hasil telah dipraktikkan selama masa Rasulullah. para sahabat telah terlatih dan mematuhinya dalam menjalankan metode ini. Rasulullah tidak melarang bahkan menyatakan persetujuannya dan ikut menjalankan metode ini.
Imam ad-Daruquthni meriwayatkan dari Abu Hurairah dari Nabi SAW yang bersabda : Allah SWT berfirman : “Aku adalah pihak ketiga (Yang Maha Melindungi) bagi dua orang yang melakukan syirkah, selama salah seorang diantara mereka tidak berkhianat kepada perseroannya. Apabila diantara mereka ada yang berkhianat, maka Aku akan keluar dari mereka (tidak melindungi).
HR. Abu Daud : “Umat islam bersekutu dalam tiga hal : air, padang rumput, dan api…”
c. Rukun dan Syarat
Syirkah mempunyai syarat umum, yakni :
1) Perserikatan itu merupakan transaksi yang boleh diwakilkan. artinya, salah satu pihak jika bertindak hukum terhadap objek perserikatan itu, dengan izin pihak lain, dianggap sebagai wakil seluruh pihak yang bersangkutan.
2) Persentase pembagian keuntungan untuk masing-masing pihak yang berserikat dijelaskan ketika berlangsungnya akad.
3) Keuntungan itu diambilkan dari hasil laba perserikatan, bukan dari hasil harta lain.
Ada beberapa hal yang menyebabkan berakhirnya akad syirkah. hal-hal yang menyebabkan berakhirnya akad perserikatan secara umum adalah sama dengan berakhirnya akad pada umumnya. jika dilihat dari bentuk perserikatan secara khusus, ada beberapa hal berakhirnya akad, yakni :
1) Pada syirkah Amwal, akad dinyatakan batal bila semua atau sebagian modal perserikatan hilang, karena objek perserikatan ini adalah harta.
2) Pada syirkah Mufawadhah, perserikatan dinyatakan batal bila modal masing-masing pihak tidak sama kuantitasnya, karena Mufawadhah berarti persamaan, baik dalam modal, kerja, maupun keuntungan yang dibagi.
d. Bentuk Syirkah
Syirkah secara umum terbagi menjadi tiga bentuk, yaitu :
1) Syirkah Ibahah, yakni persekutuan hak semua orang untuk dibolehkan menikmati manfaat sesuatu yang belum ada dibawah kekuasaan seseorang.
2) Syirkah Amlak, yakni persekutuan antara dua orang atau lebih untuk memiliki suatu benda.
a) Syirkah Milik Jabariyah, yang terjadi apabila keinginan para pihak yang bersangkutan, seperti persekutuan ahli waris
b) Syirkah Milik Ikhtiyariyah yang terjadi atas keinginan para pihak yang bersangkutan
3) Syirkah Akad, yaitu persekutuan antara dua orang atau lebih yang timbul dengan adanya perjanjian.
a) Syirkah Amwal, yaitu persekutuan antara dua orang atau lebih dalam modal/harta.
1. Syirkah al-Inan, adalah persekutuan antara dua orang atau lebih untuk memasukkan bagian tertentu dari modal yang akan diperdagangkan dengan ketentuan keuntungan dibagi antara para anggota sesuai dengan kesepakatan bersama, sedangkan modal masing-masing tidak harus sama.
2. Syirkah al-Mufawadhah adalah persekutuan antara dua orang atau lebih dalam modal dan keuntungannya dengan syarat besar modal masing-masing yang disertakan harus sama, hak melakukan tindakan hukum terhadap harta syirkah harus sama, dan setiap anggotanya adalah penanggung dan wakil dari anggota lainnya.
b) Syirkah Ámal/Ábdan adalah perjanjian persekutuan antara dua orang atau lebih untuk menerima pekerjaan dari pihak ketiga yang akan dikerjakan bersama dengan ketentuan upah dibagi diantara para anggotanya sesuai dengan kesepakatan mereka.
c) Syirkah Wujuh adalah persekutuan antara dua orang atau lebih dengan modal harta dari pihak luar untuk mengelola modal bersama tersebut dengan membagi keuntungan sesuai dengan kesepakatan.
d) Syirkah Mudharabah (Qiradh) yaitu berupa kemitraan terbatas yakni perseroan antara tenaga dan harta. Seseorang (pihak pertama/pemilik modal/mudharib) memberikan hartanya kepada pihak lain (pihak kedua/pemakai/pengelola/dharib) yang digunakan untuk berbisnis, dengan keuntungan bahwa keuntungan yang diperoleh akan dibagi oleh masing-masing pihak sesuai dengan kesepakatan. bila terjadi kerugian, maka dibebankan kepada harta, dan tidak dibebankan sedikitpun kepada pengelola yang bekerja.
3. Pemberi Kepercayaan dalam Kegiatan Usaha
a. Wadi’ah (Titipan)
Secara terminologi, ada dua definisi yang dikemukakan pakar fiqh. Yang pertama menurut ulama Hanafi, wadi’ah adalah mengikutsertakan orang lain dalam memelihara harta, baik dengan ungkapan yang jelas, melalui tindakan, maupun melalui isyarat. Kedua, menurut ulama Maliki, Syafi’ie, dan Hambali wadi’ah adalah mewakilkan orang lain untuk memelihara harta tertentu dengan cara tertentu. Dari definisi diatas secara esensi wadi’ah adalah menitipkan sesuatu harta atau barang pada orang yang dapat dipercaya untuk menjaganya.
1) Dasar Hukum
a) al-Quran
• QS. an-Nisa (4) : 58
• QS. al-Baqarah (2) : 283
b) Hadits Rasul
Serahkanlah amanat orang yang memercayai engkau, dan jangan kamu menghianati orang yang telah menghianati engkau. (HR. Abu Daud, at-Tirmizi, dan al-Hakim)
c) Ijtihad
Berdasarkan ayat dan hadits diatas, para ulama fiqh sepakat mengatakan, bahwa akad wadi’ah boleh dan disunnahkan, dalam rangka saling menolong antara sesama manusia. oleh sebab itu, Ibnu Qudamah, pakar fiqh Hambali menyatakan bahwa sejak zaman Nabi SAW hingga generasi-generasi berikutnya, akad wadi’ah telah menjadi ijma’ amali (konsensus dalam praktik) bagi umat dan tidak ada ulama yang mengingkarinya.
2) Ketentuan Wadi’ah
Dilihat dari segi sifat akad wadi’ah, para ulama fiqh sepakat menyatakan akadnya bersifat mengikat bagi kedua belah pihak. bila seseorang dititipi barang oleh orang lain dan akadnya ini memenuhi rukun dan syarat wadi’ah, maka pihak yang dititipi bertanggung jawab untuk memelihara barang titipan tersebut. para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa status wadi’ah ditangan orang yang dititipi bersifat amanah, bukan adh-dhaman, sehingga seluruh kerusakan yang terjadi selama penitipan barang tidak menjadi tanggung jawab orang yang dititipi kecuali kerusakannya disengaja atau atas kelalaian orang yang dititipi. alasan mereka adalah sabda Rasulullah SAW yang mengatakan : “Orang yang dititipu barang apabila tidak melakukan penghianatan, tidak dikenakan ganti rugi” (HR al-Baihaqi ad-Daruquthni). Dalam riwayat lain dikatakan : “Orang yang dipercaya memegang amanah tidak boleh dituntut ganti rugi” (HR ad-Daruquthni dari Amr Ibnu Syu’aib).
Berdasarkan hadits diatas, para ulama fiqh bersepakat apabila dalam akad wadi’ah disyaratkan bahwa orang yang dititipi dikenai ganti rugi atas kerusakan barang selama dalam penitipan, sekalipun kerusakan barang tersebut bukan atas kesengajaan atau kelalaiannya, maka akadnya batal. akibat lain dari sifat amanah yang melekat pada akad wadi’ah adalah pihak yang dititipkan barang tidak boleh meminta upah dari barang titipan tersebut.
b. Rahn (Barang Jaminan)
Secara etimologi, rahn berarti tetap, kekal, dan jaminan. Akad rahn dalam istilah hukum positif disebut barang jaminan atau agunan. ada beberapa definisi rahn yang dikemukakan oleh ulama fiqh.
Ulama Maliki mendifinisikannya dengan harta yang dijadikan oleh pemiliknya sebagai jaminan utang yang bersifat mengikat. Ulama Hanafi mendefinisikannya dengan menjadikan sesuatu (barang) sebagai hak pembayar (piutang) itu, baik seluruhnya maupun sebagian. Sedangkan Uama Syafi’ie dan Ulama Hambali mendefinisikannya dengan menjadikan materi (barang) sebagai jaminan utang, yang dapat dijadikan pembayar utang apabila orang yang berutang tidak dapat membayar utangnya tersebut.
Definisi ini mengandung pengertian bahwa barang yang boleh dijadikan jaminan utang itu hanya bersifat materi, tidak termasuk manfaat sebagaimana yang dikemukakan Ulama Maliki. Barang jaminan itu boleh dijual apabila dalam waktu yang disepakati oleh kedua belah pihak, utang tidak dilunasi. oleh sebab itu, hak pemberi piutang hanya terkait dengan barang jaminan, apabila orang yang berutang tidak mampu melunasi utangnya.
Adapun yang dapat dijadikan sebagai barang jaminan bukan saja yang bersifat materi, tetapi juga yang bersifat manfaat tertentu. benda yang dijadikan barang jaminan tidak harus diserahkan secara aktual, tetapi boleh juga penyerahannya secara hukum, seperti menjadikan sawah sebagai jaminan, sehingga yang diserahkannya adalah surat jaminannya (sertifikat sawah).
1) Dasar Hukum
a) al-Quran
• al-Baqarah (2) : 283
b) Hadits
Dari ‘Aisyah r.a menjelaskan bahwa : Rasulullah SAW pernah membeli makanan dari orang Yahudi dan Beliau menggadaikan kepadanya baju besi Beliau (HR. Bukhari)
c) Ijtihad
Para ulama sepakat bahwa rahn boleh dilakukan dalam perjalanan atau tidak, asalkan barang jaminan itu bisa langsung dikuasai secara hukum oleh pemberi piutang. misalnya apabila barang jaminan tersebut berbentuk tanah, maka yang dikuasai adalah surat jaminan tanah. Rahn dibolehkan karena banyak kemaslahatan yang terkandung didalamnya dalam rangka hubungan antar sesama manusia.
2) Rukun dan Syarat
a) Syarat al-Marhun Bihi (utang)
• Merupakan hak wajib dikembalikan kepada orang yang berutang
• Boleh dilunasi dengan jaminan itu
• Jelas dan tertentu.
b) Syarat al-Marhun (barang yang dijadikan jaminan)
• Boleh dijual dan nilainya seimbang dengan utang
• Bernilai dan dapat dimanfaatkan
• Jelas dan tertentu
• Milik sah orang yang berutang
• Tidak terkait dengan hak orang lain
• Berupa harta yang utuh, tidak bertebaran dalam beberapa tempat
• Boleh diserahkan, baik materinya maupun manfaatnya.
Disamping syarat-syarat diatas, para ulama fiqh dengan sepakat menyatakan bahwa rahn itu baru dianggap sempurna apabila barang yang dirahnkan itu secara hukum sudah berada ditangan pemberi utang, dan uang yang dibutuhkan telah diterima peminjam uang. Apabila barang jaminan itu berupa benda tidak bergerak seperti rumah dan tanah, cukup surat jaminan tanah atau surat-surat rumah itu yang dipegang pemberi utang. Syarat yang terakhir yang merupakan kesempurnaan rahn ini oleh para ulama disebut sebagai barang jaminan yang dikuasai secara hukum. Syarat ini menjadi penting karena Allah dalam surat al-Baqarah (2): 283 menyatakan “fa rihan maqbudhah” (barang jaminan itu dikuasai secara hukum).
Apabila barang jaminan itu telah dikuasai oleh pemberi utang, maka akad rahn mengikat bagi kedua belah pihak. Oleh karena itu, utang terkait dengan barang jaminan, sehingga apabila utang tidak dapat dilunasi, barang jaminan dapat dijual dan utang dibayar. Apabila didalam penjualan barang jaminan itu ada kelebihan, maka wajib mengembalikan kepada pemiliknya.
Jumhur ulama fiqh selain ulama Hambali berpendapat bahwa pemegang barang jaminan tidak boleh memanfaatkan barang jaminan itu, karena barang itu bukan barang miliknya secara penuh. Hak pemegang barang jaminan hanya sebagai jaminan piutang, dan apabila orang yang berutang tidak mampu melunasi utangnya, ia boleh menjual atau menghargai barang itu utuk melunasi utangnya. Alasan jumhur ulama adalah sabda Rasulullah yang berbunyi : “barang jaminan tidak boleh disembunyikan dari pemiliknya, karena hasil (dari barang jaminan) dan risiko (yang timbul atas barang itu) menjadi tanggung jawabnya.” (HR. Al-Hakim, al-Baihaqi, dan Ibnu Hibban dari Abu Hurairah)
Akan tetapi, apabila pemilik barang mengizinkan pemegang barang jaminan memanfaatkan barang jaminan itu selama berada ditangannya, maka sebagian ulama Hanafi membolehkannya, karena dengan adanya izin, tidak ada halangan bagi pemegang barang jaminan untuk memanfaatkan barang itu. Akan tetapi sebagian ulama Hanafi lainnya, ulama Maliki, ulama Syafi’ie berpendapat, sekalipun pemilik barang itu mengizinkannya, pemegang barang jaminan tidak boleh memanfaatkan barang jaminan itu, karena apabila barang jaminan itu dimanfaatkan, maka hasil pemanfaatan itu merupakan riba yang dilarang syari’at sekalipun diizinkan pemilik barang.
c. Wakalah (perwakilan)
Wakalah adalah pemberian kewenangan atau kekuasaan kepada pihak lain tentang apa yang harus dilakukannya dan ia (penerima kuasa) secara syar’i menjadi pengganti pemberi kuasa selama batas waktu yang ditentukan.
1) Dasar Hukum
a) Al-Quran
• QS. Al-Kahfi (18) : 19
• QS. At-Taubah (9) : 60
b) Hadits
Dalam kehidupan sehari-hari Nabi Muhammad SAW pernah mewakilkan kepada para sahabat untuk berbagai urusan. Diantaranya untuk membayarkan utangnya, menetapkan hukuman-hukuman dan melaksanakannya, dan lain-lain.
c) Ijtihad
Para ulama telah sepakat atas dibolehkannya wakalah karena kebutuhan umat terhadapnya. Wakalah termasuk jenis ta’awwun atau tolong menolong atas dasar kebaikan dan taqwa. (QS. Al-Maidah (5) : 2
2) Ketentuan
Wakalah boleh dilakukan dengan menerima bayaran atau tanpa bayaran. Nabi Muhammad memberikan komisi kepada para petugas penarik zakat. Dari Bisr Ibnu Said dari Ibnu as-Sa’idi berkata “Umar ra pernah mempekerjakan aku untuk menarik zakat (shadaqah). Setelah pekerjaanku selesai, Umar memberikanku upah, maka saya protes : “saya bekerja ini hanya untuk Allah”, Umar menjawab, “ambil saja apa yang diberikan kepadamu. Sungguh aku pernah dipekerjakan oleh Rasulullah SAW dan beliau memberiku upah”. Imam Abu Daud juga meriwayatkan tentang sahabat yang menerima upah, pemberian dari kepala kampung yang telah disembuhkannya dari sengatan binatang (kalajengking) melalui bacaan surat al-Fatihah. Jika diperhatikan, dua kasus diatas adalah termasuk amal tabarru’ (suka rela dan sosial) tetapi dalam kasus ini diperkenankan menerima upah seiring dengan perkembangan zaman, aktifitas yang terkait dengan jasa seperti mengajar, pengobatan, dan lain-lain dinilai sebuah pekerjaan yang dapat menghasilkan uang atau imbalan.
Secara umum, wakalah ada dua macam, yaitu :
a) Wakalah Muqayadah (khusus), yaitu pendelegasian terhadap pekerjaan tertentu. Dalam hal ini seorang wakil tidak boleh keluar dari wakalah yang ditentukan.
b) Wakalah Mutlaqah, yaitu pendelegasian secara mutlak, misalnya sebagai wakil dalam berbagai pekerjaan. Maka seorang wakil dapat melaksanakan wakalah secara luas.
Ada beberapa hal yang membuat wakalah itu berakhir masa berlakunya, yakni diantaranya adalah :
a) Muwakkil mencabut wakalahnya kepada wakil
b) Wakil mengundurkan diri dari akad wakalah
c) Muwakkil meninggal dunia
d) Waktu kesepakatannya sudah berakhir
e) Terlaksananya tujuan wakalah
f) Ketika sesuatu atau barang yang menjadi objek wakalah tidak menjadi milik muwakkil.
d. Kafalah (tanggungan)
Kafalah menurut mazhab Hanafi adalah memasukkan tanggung jawab seseorang kedalam tanggung jawab orang lain dalam suatu tuntutan umum. Dengan kata lain menjadikan seseorang ikut bertanggung jawab atas tanggung jawab orang lain yang berkaitan dengan masalah nyawa, utang, atau barang. Meskipun demikian, penjamin yang ikut bertanggung jawab tersebut tidak dianggap berutang, dan utang pihak yang dijamin tidak gugur dengan jaminan pihak penjamin. Sedangkan menurut mazhab Maliki, Syafi’ie dan Hambali, kafalah adalah menjadikan seseorang penjamin ikut bertanggung jawab atas tanggung jawab seseorang dalam pelunasan atau pembayaran utang, dan dengan demikian kedua-duanya dipandang berutang. Ulama sepakat dengan bolehnya kafalah, karena sangat dibutuhkan dalam muamalah dan agar yang berutang tidak dirugikan karena ketidak mampuan yang berutang.
1) Dasar Hukum
a) Al-Quran
• QS. Yusuf (12) : 66
• QS. Yusuf (12) : 72
b) Hadits
HR. Abu Daud: Pinjaman hendaklah dikembalikan dan yang menjamin hendaklah membayar.
HR. Abu Daud, at-Tarmizi dishahihkan Ibnu Hibban … bahwa penjamin adalah orang yang berkewajiban membayar.
c) Ijtihad
Ulama sepakat dengan bolehnya kafalah, karena sangat dibutuhkan dalam muamalah dan agar yang berutang tidak dirugikan karena ketidakmampuan yang berutang.
2) Ketentuan
Secara umum, kafalah dibagi menjadi dua bagian, yakni :
a) Kafalah dengan jiwa
Kafalah dengan jiwa dikenal dengan kafalah bi al-wajhi, yaitu adanya kesediaan pihak penjamin (al-kafil, al-dhmin, atau al-za’im) untuk menghadirkan orang yang ia tanggung kepada yang ia janjikan tanggungan (makful lah)
Penjamin yang menyangkut masalah manusia boleh hukumnya. Orang yang ditanggung tidak mesti mengetahui permasalahan, karena menyangkut badan bukan harta. Penangungan tentang hak Allah, seperti had al-khamr dan had menuduh zina adalah tidak sah, sebab Nabi Muhammad SAW telah bersabda : “tidak ada kafalah dalam had” (Riwayat al-Baihaqi).
b) Kafalah dengan harta
Kafalah harta merupakan kewajiban yang mesti ditunaikan oleh dhamin atau kafil dengan pembayararan atau (pemenuhan) berupa harta.
e. Hiwalah (Pengalihan Hutang)
1) Pengertian
Hiwalah adalah akad pemindahan utang piutang satu pihak kepada pihak lain. Dalam hal ini ada tiga pihak yang terlibat, muhil atau madin, pihak yang memberi utang (muhal atau dain), dan pihak yang menerima pemindahan (muhal alaih). Dipasar keuangan profesional praktik hiwalah dapat dilihat pada transaksi anjak piutang (factoring). Namun kebanyakan ulama’ tidak memperbolehkan mengambil manfaat atas pemindahan utang atau piutang tersebut.
2) Dasar Hukum
Hiwalah dibenarkan oleh Nabi Muhammad SAW dalam hadist yang diriwayatkan oleh mayoritas jumhur ulama dengan lafal yang berbeda. “Memperlambat pembayaran utang yang dilakukan orang kaya merupakan perbuatan dzalim. Jika salah seorang kamu dialihkan kepada orang yang mudah membayar utang, maka hendaklah ia beralih.” Disamping itu terdapat kesepakatan ulama yang menyatakan, bahwa tindakan hiwalah boleh dilakukan.
3) Ketentuan
Syarat yang diperlukan terhadap utang yang dialihkan (al muhal bih) yaitu sebagai berikut,
a) Sesuatu yang sudah dalam bentuk utang piutang yang pasti. Jika yang dialihkan belum merupakan utang piutang yang pasti, misalnya, mengalihkan utang yang timbul akibat jual beli yang masih berada dalam masa khiyar maka hiwalah tidak sah.
b) Apabila pengalihan utang dalam bentuk hiwalah mukayyadah semua ulama fiqih sepakat, bahwa baik utang pihak pertama kepada pihak kedua maupun utang pihak ketiga kepada pihak pertama, meskilah sama jumlah dan kualitasnya. Jika terdapat perbedaan jumlah atau kualitas, maka hiwalah tidak sah. Namun, jika pengalihan itu dalam bentuk hiwalah muthlaqah, maka kedua utang itu tidak mesti sama.
c) Ulama dari mazhab Syafi’i menambahkan, bahwa kedua utang itu mesti sama waktu jatuh tempo pembayarannya. Jika terdapat perbedaan, maka hiwalah tidak sah.
f. Al-Ariyah (Pinjam-Meminjam)
1) Pengertian
Menurut terminologi fiqih, ada dua definisi dari al ariyah. Pertama, Ulama Maliki dan Hanafi mendefinisikannya dengan pemilikan manfaat sesuatu tanpa ganti rugi. Kedua, Ulama Syafi’i dan Hambali mendefinisikannya dengan kebolehan memanfaatkan barang orang lain tanpa ganti rugi. Kedua definisi ini membawa dampak hukum yang berbeda. Definisi pertama membolehkan peminjam meminjamkan kembali barang yang ia pinjam kepada pihak ketiga. Sedangkan definisi kedua tidak membolehkan.
2) Dasar Hukum
a) Al Qur’an
• QS. Al Maidah (5): 2
b) Hadist
HR. Bukhari Muslim: Dari Safwan ibnu Umayyah: Rasulullah SAW meminjam kuda Abi Talhah dan mengendarainya.
HR. Abu daud dan at Tirmidzi: Ariah (barang pinjaman) adalah barang yang wajib dikembalikan.
3) Ketentuan
Para Ulama fiqih berbeda pendapat dalam menetapkan hukum asal akad. Apakah bersifat pemilikan terhadap manfaat atau hanya sekedar kebolehan memanfaatkannya. Ulama Hanafi dan Maliki mengatakan, bahwa ariyah merupakan akad yang menyebabkan peminjam memiliki akad yang ia pinjam. Peminjaman itu dilakukan secara sukarela, tanpa imbalan dari pihak peminjam. Oleh sebab itu, peminjam berhak meminjamkan barang itu kepada orang lain untuk dimanfaatkan, karena manfaat barang itu telah menjadi miliknya, kecuali pemilik barang membatasi pemanfaatannya untuk peminjam saja.
Sedangkan Ulama Syafi’i, Hambali, dan Abu Hasan Al Kharki, pakar fiqih Hanafi, berpendapat bahwa ariyah hanya bersifat kebolehan memanfaatkan benda, sehingga pemanfaatannya hanya terbatas bagi pihak peminjam. Namun seluruh Ulama fiqih sepakat, bahwa pihak peminjam tidak boleh menyewakannya kepada pihak lain.
muzaro'ah
MUZARO’AH
A. PENGERTIAN
Secara
bahasa, muzaraah berarti muamalah atas tanah dengan sebagian
yang keluar sebagian darinya. Dan secara istilah
muzara'ah berarti memberikan tanah kepada petani agar dia
mendapatkan bagian dari hasil tanamannya. Misalnya sepertiga,
seperdua atau lebih banyak atau lebiih sedikit dari itu.
Muzaro’ah adalah bagi hasil dalam transaksi
pengolahan bumi dengan (upah) sebagian hasil yang keluar dari padanya dengan
kesepakatan kedua belah pihak (pemilik tanah dan penggarap).
Muzara‟ah adalah akad kerjasama di bidang
pertanian, dimana pemilik lahan memberi hak pengelolaan lahan kepada pihak lain
(petani). Keuntungan yang diperoleh dari hasil lahan dibagi bersama sesuai
kesepakatan.
B.
Dasar Pensyari'atan
Muzara'ah
adalah salah satu bentuk ta'awun(kerja sama) antar petani (
buruh tani) dan pemilik sawah. Serigkali kali ada orang yang ahli
dalam masalah pertanian tetapi dia tidak punya lahan, dan
sebaliknya banyak orang yang punya lahan tetapi tidak mampu
menanaminya. Maka Islam mensyari'atkan muzara'ah
sebagai jalan tengah bagi keduanya.
Itulah
yang telah dicontohkan oleh Rasulullah dan mentradisi di
tengah para sahabat dan kaum muslimin setelahnya.
Ibnu 'abbas mencerikana bahwa Rasululah saw bekerja sama
(muzaraah) dengan penduduk Khaibar untuk berbagi hasil
atas panenan, makanan dan buah-buahan.
Bahkan
Muhammad Albakir bin Ali bin Al-Husain mengatakan
bahwa tidak ada seorang muhajirin yang berpindah ke
Madinah kecuali mereka bersepakat untuk membagi hasil
pertanian sepertiga atau seperempat.
Al-buhori dan muslim meriwayatkan yang artinya dari ibnu
abbas bahwa rasululloh saw memperkerjakan
penduduk khaibar dengan upah sebagian dari bebijian dan bbuah-buahan
yang dapat ditumbuhkan oleh tanah khaibar.
Muhammad al-baqir bin ali bin al husain r.a berkata: tak
ada seorang muhajirin pun yang ada di madinah kecuali mereka menjadi petani
dengan mendapatkan sepertiga, atau seperempat. Dan ali r.a said bin malik,
abdulloh bin mas’ud, umar bin abdul ‘aziz, qosim, urwah, keluarga abu bakar, keluarga
umar, keluarga ali dan ibnu sirin, semua terjun kedunia pertanian. (riwayat
al-bukhori)
C.
Pendapat Yang Melarang
Dan telah datang satu masalah dalam hal ini, yaitu munculnya
hadis tentang muzara'ah dari Rafi' bin Khudaij yang mengatakan bahwa Rasulullah
SAW telah melarang dilakukannya muzara'ah setelah sebelumnya ia memperbolehkannya,
dengan dalil hadis yang menceritakan bahwa telah datang kepada Rasulullah dua
orang yang berselisih tentang muzara'ah yang mereka lakukan hingga menjadikan
mereka berusaha untuk saling membunuh, maka untuk permasalahan mereka ini
Rasulullah berkata bahwa kalau demikaian halnya yang terjadi maka sebaiknya
mereka tidak melakukannya(muzara'ah).
Zaid bin Tsabit meriwayatkan, bahwa ada dua orang yang sedang
bertengkar tentang masalah tanah, kemudian mengadukannya kepada Nabi, maka
jawab Nabi,"Kalau ini persoalanmu, maka janganlah kamu menyewakan
tanah."(RiwayatAbu Daud)
Jadi
masing-masing dari pemilik tanah dan penyewa, harus ada
sikap toleransi (tasamuh) yang tinggi. Misalnya si pemilik tanah
jangan minta terlalu tinggi dari hasil tanahnya itu. Begitu juga
sebaliknya si penyewa jangan merugikan pihak pemilik tanah.
Dan pendapat yang mengatakan bahwa hukum muzara'ah ini
termasuk akad yang terlarang telah dibantah oleh Zaid bin Tsabit dengan
mengatakan bahwa ia lebih mengetahui tentang hadits Rasulullah dari pada Rafi'
bin Khudaij. Lebih lanjutnya dia
menjelaskan bahwa banyak sahabat Nabi yang melakukan muzara'ah.
Dengan adanya bantahan dari Zaid ini, maka telah jelas bahwa
tidak ter jadi nasakh dalam hokum diperbolehkannya
muzara'ah.
Ibnu Abbas ra meriwayatkan bahwa larangan Rasulullah SAW
tentang muzara'ah dalam hal ini bersifat kasuistik, dimana beliau memandang
bahwa orang tersebut kurang tepat dalam melakukan akad muzara'ah, sehingga
larangan itu bukan berarti melarang hukum muzara'ah secara hukum, melainkan arahan
beliau kepada orang seseorang tertentu untuk menggunakan sistem lain yang lebih
tepat.
من كانت
له أرض فليزرعها أو بيمنحها
أخاه فإن أب فليمسك أرضه
- رواه البخاري
ومسلم
Siapa
yang punya lahan, hendaklah ditanaminya atau diberikannya
kepada saudaranya. Namun bila dia menolak, hendaklah dia
mengambil tanahnya.(HR. Bukhari dan Muslim)
ما كنا
نرى ف الزارعة بأسا حت
سعت رافع بن خديج يقول : إن
رسول ال
نى عنها، فذكرت لطاوس فقال : قال ل أعلمهم (يقصد
ابن عباس) إن رسول ال ل
ينه عنها ولكن قال : لن ينح أحدكم
أرضه خي
من أن يأخذ عايها خراجا
معلوما - رواه المسة
Kami
tidak memandang bahwa di dalam muzara'ah itu ada larangan,
hingga aku mendengar Rafi' bin Khudaij berkata bahwa
Rasulullah SAW melarangnya. Maka aku bertanya kepada Thawus
dan beliau berkata,"Orang yang paling mengerti dalam
masalah ini telah memberitahukan ku (maksudnya Ibnu
Abbas ra),"Sesunguhnya Rasulullah SAW tidak melarang
muzara'ah, beliau hanya berkata,"Memberikan tanah kepada
seseorang lebih baik dari pada meminta pajak tertentu".
(HR. Bukhari, Ahmad, Abu Daud, Nasai dan Ibnu Majah)
D.
Bentuk Muzara'ah Yang Terlarang
Muzara'ah
dibenarkan apabila disepakati pembagian hasil antara pemilik
lahan dengan tenaga petani. Misalnya, petani mendapat 60 %
dari nilai total hasil panen, sedangkan pemilik lahan mendapat
40% sisanya. Bentuk seperti ini dihalalkan dan telah
dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW dan para shahabat hingga
generasi berikutnya.
Adapun
bentuk muzara'ah yang diharamkan adalah bila bentuk
kesepakatannya tidak adil. Misalnya, dari luas 1000 m persegi
yang disepakati, pemilik lahan menetapkan bahwa dia berhak
atas tanaman yang tumbuh di area 400 m tertentu.
Sedangkan
tenaga buruh tani berhak atas hasil yang akan didapat pada
600 m tertentu.
Perbedaannya
dengan bentuk muzara'ah yang halal di atas adalah pada
cara pembagian hasil. Bentuk yang boleh adalah semua hasil
panen dikumpulkan terlebih dahulu, baru dibagi hasil sesuai
prosentase. Sedangkan bentuk yang kedua dan terlarang itu,
sejak awal lahan sudah dibagi dua bagian menjadi 400 m dan 600
m.
Buruh
tani berkewajiban untuk menanami kedua lahan, tetapi haknya
terbatas pada hasil di 600 m itu saja. Sedangkan apapun yang
akan dihasilkan di lahan satunya lagi yang 400 m, menjadi hak
pemilik lahan. Cara seperti ini adalah cara muzaraah yang diharamkan.
Inti
larangannya ada pada masalah gharar. Sebab boleh jadi salah
satu pihak akan dirugikan. Misalnya, bila panen dari lahan
yang 400 m itu gagal, maka pemilik lahan akan dirugikan.
Sebaliknya, bila panen di lahan yang 600 m itu gagal, maka
buruh tani akan dirugikan. Maka yang benar adalah bahwa
hasil panen keduanya harus disatukan terlebih dahulu, setelah
itu baru dibagi hasil sesuai dengan perjanjian prosentase.
Bentuk muzara'ah yang terlarang ini adalah seseorang memberikan
persyaratan kepada orang yang mengerjakan tanahnya; yaitu dengan ditentukan
tanah dan sewanya dari hasil tanah baik berupa takaran ataupun timbangan. Sedang sisa daripada hasil itu untuk yang mengerjakannya atau masih dibagi
dua lagi misalnya.
Rasulullah
SAW menetapkan keadilan dalam masalah ini, yaitu kedua
belah pihak bersekutu dalam hasil tanah itu, sedikit ataupun
banyak. Tidak layak kalau di satu pihak mendapat bagian
tertentu yang kadang-kadang suatu tanah tidak
menghasilkan lebih dari yang ditentukan itu.
Dalam
keadaan demikian, maka pemilik tanah berarti akan mengambil semua
hasil, sedang di lain pihak menderita kerugian besar.
Dan kadang-kadang pula, suatu tanah yang ditentukan itu
tidak menghasilkan apa-apa, sehingga dengan demikian dia
samasekali tidak mendapat apa-apa, sedang di lain pihak
(penyewa) memonopoli hasil.
Oleh
karena itu seharusnya masing-masing pihak mengambil
bagiannya itu dari hasil tanah dengan suatu perbandingan
yang disetujui bersama. Jika hasilnya itu banyak, maka kedua
belah pihak akan ikut merasakannya, dan jika hasilnya
sedikit, kedua-duanya pun akan mendapat sedikit pula. Dan kalau
samasekali tidak menghasilkan apa-apa, maka kedua-duanya akan
menderita kerugian. Cara ini lebih menyenangkan
jiwa kedua belah pihak.
Diriwayatkan dari jalan Rafi' bin Khadij, ia berkata:
"Kami kebanyakan pemilik tanah di Madinah melakukan muzara'ah, kami
menyewakan tanah, satu bagian daripadanya ditentukan
untuk pemilik tanah ... maka kadang-kadang si pemilik
tanah itu ditimpa suatu musibah sedang tanah yang lain selamat, dan kadang-kadang
tanah yang lain itu ditimpa suatu musibah, sedang dia selamat, oleh karenanya
kami dilarang. (HR Bukhari).
Di zaman Nabi orang-orang biasa menyewakan tanah yang dekat sumber dan yang berhadapan dengan
parit-parit dan beberapa macam tanaman, maka yang ini rusak dan yang itu
selamat; yang ini selamat dan yang itu rusak, sedang orangorang tidak melakukan
penyewaan tanah kecuali demikian, oleh karena itu kemudian dilarangnya." (HR Muslim)
Rasulullah
s.a.w. bertanya kepada para sahabat,"Apa yang kamu
perbuat terhadap tanam-tanamanmu itu?" Mereka menjawab:
"Kami sewakan dia dengan 1/4 dan beberapa wasag dari
korma dan gandum." Maka jawab Nabi, "Jangan kamu
berbuat demikian." (Riwayat Bukhari)
Maksud
hadis ini, yaitu mereka menetapkan ukuran tertentu yang
mereka ambilnya dari hasil tanah itu, kemudian membagi sisanya
bersama orang-orang yang menanaminya, untuk ini 1/4
dan untuk itu 3/4 misalnya.
Dari sini pula kita dapat mengetahui, bahwa Nabi sangat berkeinginan
untuk mewujudkan keadilan secara merata dalam masyarakatnya, serta menjauhkan
semua hal yangmenyebabkan pertentangan dan perkelahian di kalangan masyarakat
Islam.
Langganan:
Postingan (Atom)